Malam harinya saya menemui beliau lagi. Masih di rumah yang hanya terbuat dari papan dan atap daun sagu. Kali ini saya mendapatkan pelajaran kedua ketika anaknya datang dang berucap, "Pa, perahu di pantai sudah rusak, kenapa tidak di potong dan dijadikan kayu bakar saja." Ucap anaknya.
Seketika, meja ia gebrak. Kopi hampir tumpah dibuatnya. Nampak, kemarahan yang hadir di wajah.Â
"Biarkan begitu. Bila perlu biarkan sampai lampuk dan hancur dan jangan coba-coba dijadikan kayu bakar." Geramnya pada anak tertuanya ini.
"Kenapa kong?" tanya anaknya keheranan.
"Kalau ia manusia, seberapa besar kau berikan penghargaan pada perahu itu?" Tanyanya.Â
"Perahu itu sudah menemani saya 6 tahun. Berapa banyak ikan yang sudah kita makan dari perahu itu? sudah berapa kali kau hitung ia menyelamatkan saya saat ombak dan angin saat memancing?" Tanya ia lagi.
"Tidak terhitung. Jadi ingat, kamu juga Fauji, sesuatu yang di laut tempatnya di laut. Ia tak boleh dibawa ke darat apalagi dibakar, ia tak boleh diperlakukan seperti itu. Bukan Kodratnya. Sama halnya manusia, hiduplah sebagai manusia," pesannya pada kami berdua.
Hari itu menjadi satu dari 30 hari saya berteman beliau menebang pohon di hutan dan belajar banyak kesederhanaan dan filsofi hidup yang luar biasa.
****
Pada tahun 2018 lalu, saya menginjakan kaki di Pulau Muari. Salah satu pulau di pesisir Halmahera Selatan yang masuk Kecamatan Kayoa Selatan.
Kedatangan kali ini karena bisnis. Yap, bisnis yang saya coba rintis bersama salah satu buyer di Batam satu bulan sebelumnya. Bisnis yang kami rintis ialah binis Teripang.