*******
Setiba di Bogor, saya memilih menggunakan transportasi online seperti biasa saya gunakan setiap kali melakukan perjalanan. Keluar menuju ke parkiran timur atau pintu masuk keluar parkiran saya terheran-heran. Tak ada satupun kendaraan yang mengisi parkiran.Â
Padahal biasanya, jumlah kendaraan roda 2 dan 4 selalu penuh. Aktivitas penjual makanan yang berada tepat di luar stasiun pun tampak sepi. Sungguh sesuatu yang membuat saya berpikir keras. Hipotesa saya waktu itu tentu saja kondisi pandemi yang menyebabkan ini semua.
Tarif yang di patok salah satu jasa perusahaan Ojol ialah Rp 200.000-an lebih untuk jasa roda dua dan Rp 300.00-an untuk moda transportasi roda 4. Hampir 3 kali saya mengutak atik aplikasi pemesanan sambil berdiri di samping pintu keluar. Berharap aplikasi saya error.
Saya pun kemudian beralih ke perusahaan jasa Ojol lain dan menemukan tarif yang lebih rendah dari perusahaan Ojol pertama. Sekira Rp 35.000 untuk sampai ke Dramaga.Â
Sepanjang perjalanan, nalar ini mencoba menerka-nerka mengenai kondisi yang dihadapi saat melakukan pemesanan tadi. Apakah ini terkait dengan hukum permintaan dan penawaran? ataukah dampak pandemik telah meruntuhkan segala sektor bisnis termaksud kereta? bagiaman cara mereka bertahan?
Pemikiran liar itu terus terbawa hingga sampai ke kost. Setelah memutar kopi, saya menceritakan kejadian itu ke salah teman. Ia dengan ekspresi yang sama tak percaya dengan isi yang saya bagikan. Lagi-lagi hipotesa kami ialah kita sedang menuju resesi ekonomi.
Lantas seberapa buruk sih kondisi ini?
Dikutip dari Kata Data, Frekuensi perjalanan turun membuat pendapatan tiket harian KAI Maret 2020 hanya Rp 4 miliar jauh lebih rendah dibanding Februari 2020 sebesar Rp 39 miliar. Ini nampak di mana adanya batasan dan penerapan sosial distancing menyebabkan sektor jasa ini mengalami penurunan pendapatan.