Selama masa PSBB bulan Maret hingga new normal sekarang ini, saya tak sekalipun keluar jauh dari kosan di bilangan Dramaga Kabupaten Bogor. Kalau pun keluar, paling jauh ke warteg langganan yang berjarak sekitar 200 meter dari kosan. Namun, sekali keluar jauh, sikap parno saya begitu tinggi apalagi ke Jakarta.
Tuntutan akademis yang sudah di gambarkan dalam tulisan, pengalaman melakukan seminar daring, mengharuskan saya ke Jakarta.
Perjalanan ke Jakarta, saya mulai pada pukul 18.00 Wib di antar oleh teman kos. Sepanjang perjalanan, ia selalu berpesan agar savety hingga sampai ke tujuan. Terutama menjaga jarak, mencuci tangan, dan selalu memperhatikan masker kalau-kalau hilaf dan terlepas.
Sesampainya di Stasiun Bogor saya kemudian menuju loket pembelian. Sepanjang itu pulah saya menyaksikan betapa lenggangnya orang-orang di stasiun ini. Tidak seperti biasanya, sebelum pandemi kita harus antri jika membeli tiket.Â
Saya kemudian membeli tiket arah Jakarta Kota. Tepatnya ke Stasiun Cikini. Setelah masuk ke kereta tujuan, saya memilih gerbong paling tengah dan duduk di kursi yang tak di beri tanda larangan. Hampir 15 menit, pesan dari suara micropone menandakan kereta akan berangkat.
Dalam gerbong ini, saya seketika paranoid dengan kondisi yang tertangkap mata. Tak ada penumpang dan suasana gerbong yang sangat sepi. Hanya ada 3 orang yang mengisi gerbong hingga ke Manggarai.
Padahal, jika sebelum pandemik, penumpukan penumpang selalu terjadi apalagi di hari libur di mana mayoritas warga Jakarta bertamasya ke Bogor akan kembali.
Saya memilih diam, Â sambil menerka-nerka betapa mengerikan situasi ini. Bahkan situasinya lebih mirip di film-film horor. Selain itu, sikap paranoid menguat mengenai kondisi kereta apakah steril atau tidak. Mengingat sejak naik tadi, tidak ada tindakan penyemprotan disenfektan untuk mensterilkan gerbong. Mungkin sudah, dan saya yang tak menangkap aktivitas itu.
Keesokan harinya, saya menuju Cengkareng. Masih menggunakan Ojol. Sepanjang perjalanan ia bercerita bahwa saya adalah penumpang pertama setelah beberapa jam menunggu orderan masuk. Ia bahkan, hampir putus asa dan ingin kembali ke rumah karena sepi penumpang.
Menurutnya,walaupun kondisi sudah tidak PSBB akan tetapi pengunaan transportasi online masih rendah. Dalam sehari, ia mengaku hanya mendapatkan 2-3 penumpang. Â Sehingga demi menghidupi keluarganya, ia tak jarang melakukan pinjaman ke keluarga atau kenalannya.