Setiap hari konflik ini selalu terjadi, apalagi jika setiap kali ada demonstrasi antara kedua kandidat. Kandidat sebelah yang melakukan demonstrasi yang kemudian pulang melewati basis kandidat lain maka sudah tentu terjadi tawuran. Baik siang maupun malam, tawuran tak terelakan. Bahkan, Kepolisian Republik Indonesia sampai menurunkan Pasukan BKO dari Kelapa Dua Jakarta.
Saya sendiri bersama beberapa teman selau terlibat pada tawuran-tawuran tersebut. Apalagi anggapan kami saat itu ialah harga diri.
Banyaknya petinggi alias calon-calon pejabat di lokasi kampung saya tinggal juga menjadi dorongan kami berpartisipasi. Mereka adalah orang-orang yang mempertaruhkan segalanya demi kandidat yang di usung. Baik modal, bahkan tenaga.
Sedang kami, berpikir jika kandidat mereka menang maka kami akan jadi PNS atau pegawai. Dan jika kandidat lawan menang maka kami jadi pengganguran. Sebuah pemikiran yang kolot tentu saja.Â
Menjadi simpatisan kandidat fanatik merupakan pengalaman paling dungu bagi saya. Bayangkan saja setiap malam kami harus berjaga-jaga dititik sentral. Alasannya kalau-kalau ada penyerangan dari massa kandidat sebelah.
Parang, batu, ketapel dan botol bekas adalah senajata-senjata yang biasa kami pakai berjaga. Sungguh sesuatu yang mengerikan.
Selain kepentingan para elit, hasutan, dan hoax salah satu faktor penting menjadi simpatisan fanatik waktu itu ialah masalah identitas, alias kesukuan.
Seperti diketahui, di Maluku Utara politik identitas masih sampai sekarang terjadi (akan di bahas pada artikel berikut). Suku-suku besar seperti suku Makian,Tobelo-Galela,Tidore dan Ternate selalu mengemuka.
Politik identitas ini begitu kuat melekat pada diri. Bahkan, apalagi jika kandidat tersebut berasal dari satu suku yang sama. Analoginya, jika suku kami menang maka tapuk kepemimpinan dari top hingga bottom akan menjadi milik kami. Dan, suku lain akan terdepak.
Belakangan saya menyadari bahwa politik identitas masih merupakan komoditi politik yang laris manis di jual. Komparasi antar dua suku sering terjadi sebagai strategi memecah perolehan suara.Â
Suku yang memiliki basis besar akan di kombinasikan dengan suku yang juga sama kuat sehingga membentuk kekuatan besar. Bahkan, ada suku-suku tertentu tak pernah absen dalam setiap konstentasi politik.