Saat sedang iseng-iseng berselancar di Facebook 3 hari lalu, sebuah notifikasi pertemanan nonggol di beranda. Seorang anak kecil berumur 13 tahun terpampang jelas di foto profilnya. Anak yang tak asing karena ia merupakan sepupu sendiri yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Ternate.
Sesaat setelah di terima, ia pun mengirimkan pesan mesengger. Sejak itu, setiap pagi dan siang notifikasi pesan sering muncul di beranda. Ia aktif melakukan komunikasi. Padahal, setau saya pada Desember 2019 lalu pekerjaannya hanya belajar, sholat dan tidur.
Siswa kelas 2 SMP ini rajin bertanya kabar. Saya memaklumi aktivitas Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat ini membutuhkan media seperti laptop dan Handpone guna kepentingan pembelajaran.
Saat di tanya, ia mengaku sudah dari bulan Mei di belikan Handphone secend oleh orang tuanya di kampung. Tak jarang  saya marah karena ia terlalu aktif berselancar di dunia maya hingga larut malam.
Selain ia, belakangan permintaan pertemanan juga saya terima dari anak-anak sesusianya dari kampung. Bahkan anak-anak yang tak saya kenal sekalipun. Keaktifan mereka di Medsos melebih waktu orang dewasa.Â
Saya kemudian melakukan perbandingan sebelum pandemik dan saat pandemik. Sebelum pandemik, rata-rata permintaan perteman tak lebih dari 5 dan di dominasi oleh orang-orang yang saya kenal dan sudah kategori dewasa. Sementara, rata-rata permintaan pertemanan saat pandemik ini bisa mencapai 10 orang. Mereka di dominasi anak-anak SD dan SMP.
Lantas penerapan PJJ di Tahun Ajaran 2020 ini berpengaruh dan efektif? Bagi saya sangat berpengaruh tetapi belum tentu efektif.
Pengaruh yang sangat nyata tentu saja setiap siswa diwajibkan melakukan penyesuaian dan tidak kaku serta tidak melek teknologi. Penyesuaian-penyesuaian ini bisa negatif maupun positif.
Penyesuaian yang berdampak positif selain tidak melek teknologi ialah manfaat penguasaan teknologi sebagai bagian dari persiapan SDM jangka panjang. Melatih kecerdasan dan inovasi serta meningkatkan skil. Yap, era industri 4.0 ini, pengetahuan tentang teknologi sangat penting. Apalagi di masa mendatang, bonus demografi.
Skil akan terbentuk sedari awal tanpa perlu dilakukan pengajaran nanti di Sekolah Menengah Atas. Pelajaran seperti pengenalan komputer dll selalu serius di bahas pada jenjang sekolah ini di Wilayah Timur.
Sementara, penyesuaian yang berdampak negatif ialah mental dan psikologi yang terbentuk. Di mana ada over utility penggunaan teknologi terutama smartphone. Apalagi, mayoritas anak siswa di Maluku Utara khususnya lebih banyak menggunakan handpone ketimbang laptop.Â
Pertama karena kegunaan yang mudah. Kedua karena laptop, tap dan sejenis bukan barang yang wajib dimiliki anak-anak sekolah tingkat dasar maupun tingkat atas. Satu-satunya pihak yang wajib memiliki laptop ialah Mahasiswa. Berbeda dengan pola pendidikan di Luar Wilayah timur yang kebanyakan sudah familiar pada barang-barang tersebut di kalangan anak-anak.
Ketergantunhan akan tercipta secara kuat. Selain digunakan untuk pertemuan kelas daring, mereka dengan leluasa menghabiskan waktu di depan layar HP. Pola baru pun terbentuk, di mana dunia maya bahkan game akan menjadi pilihan selama berada di rumah.
Pengawasan yang lemah dari orang tua atau wali adalah salah satu ciri kenapa anak-anak tidak terbatas berselancar di dunia maya. Anak akan lebih sering menatap layar gadget daripada belajar atau pun berinteraksi dengan lingkungannya. Akses terhadap konten pornografi juga sering terjadi.Â
Secara situasional, pengawasan ketat harus di terapkan oleh orang tua. Akan tetapi bagaimana jika orang tua mereka berada di kampung dan anaknya bersekolah di Kota? bagaimana jika para orang tua juga abai melakukan pengawasan dan membiarkan anak-anaknya bebas mengakses apa saja? tentu sangat berdampak buruk.
Pola pendidikan keluarga yang lemah di wilayah timur adalah faktor penting pembentukan karakter jiwa seorang anak. Sehingga menciptakan karakter baru pada anak-anak, di mana medsos, situs -situs pornogradi hingga game ialah dunia yang tak bisa di jamah oleh mereka.
Kecanduan game misalnya, berdasarkan pengalaman pribadi saya menemukan anak-anak di usia di umur 4 sudah sangat ulet memainkan game online. Bahkan, pemandangan itu setiap hari terjadi di depan mata. Tak jarang seharian penuh dihabiskan dengan bermain game baik berkelompok  maupun sendiri-sendiri.
Edukasi bagi saya sangat penting terutama dalam PJJ,guru bisa menggunakan waktu 5-10 menit untuk mengingatkan siswanya agar tidak terpaku pada penggunaaan smarphone yang berlebihan. Selanjutnya ialah peran orang tua dalam mengawasi dan mengontrol batas-batas penggunaan smartphone dan yang ketiga ialah lingkungan. Agar anak-anak tidak terpancing karena perilaku yang terbentuk di lingkungan sekitar.
Terima Kasih *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H