Pembukaannya pun tak main-main, dihadiri oleh Walikota dan diresmikan secara sah. Selain itu kepercayaan masyarakat juga karena adanya label OJK. Di mana pemahaman masyarakat mengangap bahwa OJK merupakan salah satu sandaran perusahaan ini dapat terjamin dan tak bohong layaknya Bank.Â
Padahal, presepsi mereka sangat salah. Karena lembaga OJK hanya melakukan audit keuangan perusahaan pada waktu pembukaan dulu. Di mana stabilisasi keuangan perusahaan masih stabil. Bukan Jaminan atau pemberi jaminan.
Banyak PNS menggadaikan SK ke Bank kemudian menginvestasikan ke perusahaan investasi tersebut. Gaji pegawai hingga modal bisnis bahkan modal nikah juga tak ketinggalan di investasikan.
Pada awalnya sitem ini berjalan baik. Beberapa nasabah bahkan berhasil membeli mobil dan rumah pada periode pertama investasi. Alhasil, cerita dan desas-desus kesuksesan itu hinggap di kepala masyarakat. Maka tingkat pertumbuhan investasi di beberapa perusahaan meningkat. Tak main-main, satu orang bisa menginvestasikan 5 juta sampai 1 Milyar.
Masalah ini menimbulkan kepanikan dan kestabilan sosial. Semua pihak mencoba mencari solusi, diskusi-diskusi dan FGD dilakukan untuk memecahkan masalah yang terlanjur melilit warga.Â
Wong kepanikan warga tak ada yang bisa menahan. Apalagi si pasukan anti rusuh aja jadi korban. Hingga, para founder ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Dan uang nasabah? Tak pernah kembali lagi.Â
Belakangan, fenomena ini muncul kembali dengan istilah baru " saham". Masyarakat membeli saham dan di pertaruhkan. Bisa di bilang ini judi. Tapi geliat pertumbuhannya pasti sudah tinggi apalagi jika ada satu atau dua orang yang berhasil menang dan membagi cerita ke pihak lain. Yap, tentu saja bagi saya sendiri ini ialah bagian dari marketing agar menarik minat banyak orang.
Saya yakin, apa yang dilakukan oleh kawan saya akibat ketidaktelitian dan minimnya pemahaman investasi. Apalagi, omongan dan bisikan dari teman-temannya.
Edukasi mengenai kegiatan-kegiatan seperti ini sangat minim. Masyarakat yang tergiur oleh sesuatu yang instan tanpa kerja keras adalah salah satu ciri lemahnya pemahaman. Ciri ini melakat erat di Indonesia.Â