Nikmatnya kopi lesehan di Taman Tugu Proklmasi malam ini menemani perbincangan saya dengan salah satu adik dari Maluku Utara. Ia kebetulan rindu berdiskusi dengan saya. Ditambah, kami sudah lama tak ketemu.Â
Ia yang memutuskan kuliah di Jakarta, ngebet ingin bertemu. Dan, kebetulan saya sedang berada di Jakarta maka pertemuan itu terlaksana.Â
Kami memilih ngopi di atas trotoar ketimbang memilih ngopi agak kelas disamping tempat duduk kami saat ini. Pilihan itu mendasar, toh dalam situasi Covid -19 saat ini, kami tak mau ikut menciptakan keramaian.
Dua gelas kopi disajikan ibu penjual di depan kami. Kopi yang ia sajikan hanya kopi sacshet di tuangi air panas dari termos. Kami memulai obrolan yang kebanyakan di isi oleh petuah-petuah dari saya tentang visi kedepan.
Belum lama kami mengobrol, kira-kira sejam. Telepon saya berdering. "Halo, di mana?" tanyanya.
"Di Tuprok bang," sahutku. Ia kaget. Sepengetahuan dia, saya sedang berada di Kota Bogor.
"Ke rumah sekarang, penting," perintahnya.
Saya pun mengiyakan ajakannya dengan hati berat. Padahal obrolan saya dengan adik saya, sudah menuju pembahasan jika dalam sebuah karya ilmiah.
Setelah berpamitan, saya kemudian menuju rumah nya di bilangan Matraman. Sesampainya di sana dan belum sempat melepas sepatu, orang yang mengajak saya kerumah langsung mengeluarkan kata-kata super.
"Semua gara-gara ngana (kamu)," semprotnya dihadapan saya yang kebengongan.
"Loh kok beta (Aku,saya)," sahutku. "Ia gara-gara kamu semuanya berantakan," Ia kemudian duduk dan mengambil sebuah rokok kretek. Saya diam, masih menerka-menerka kemarahannya
Setelah dibuatkan kopi, ia bilang, "kamu tau tidak, kawanmu itu menipu kita. Menghilangkan kepercayaan yang sudah hampir 3 tahun ini saya berikan." Kawan yang dia maksud ialah salah satu kolega dari kami berlima
Saya mulai paham akar tujuan ia memanggil saya kesini. Maklum, selama setahun terakhir saya tidak melibatkan diri sama sekali dalam bisnis yang kami rintis karena urusan akademik. Setahun yang lalu, saya membuat pakta, tak bisa di ganggu dalam urusan apapun baik bisnis maupun yang berhubungan dengan pekerjan.
Kemarahan keloga bisnis saya sangat beralasan. Apalagi, kami sedang berada dalam masa tenggang melakukan belanja bahan. Alhasil, semua planing menjadi kacau. Bisnis terancam gagal.
Semua kemarahan di luapakan para kolega. Si kawan bahkan di cari untuk mengganti modal tersebut dan menanyakan apa maksud dan tujuan ia menyelewengkan separuh anggaran penting tersebut.
Klarifikasi kami dapatkan esok sorenya. Setelah drama semalaman yang membuat kami tak rehat sekalipun. Alasannya, ia membeli saham
Pikir kami ia main saham di Bursa Efek, namun lagi-lagi kami salah. Ia membeli saham pada aplikasi-aplikasi permainan saham di Internet. Lebih pada penjudian.Â
Apes, pikir kami. Kok bisa ia percaya begitu saja. Mengikuti hasrat pribadi dan menggadaikan tujuan besar yang kami bangun. Kata salah satu kolega, ia terjebak pada euforia kemegahan.
Malam harinya saya mendapat informasi dari salah satu keluarga yang menegaskan bahwa memang di daerah saya sana (Maluku Utara) sedang terobsesi dengan permainan yang di maknai masyarakat sebagai "saham".
Saya langsung teringat betapa masalah-masalah seperti cukup ter mainsed di masyarakat. Hal-hal seperti investasi bodong bahkan jauh lebih diminati ketimbang menginvestasikan uangnya ke jalur yang benar.
Pada tahun 2018 -2019 silam, kasus investasi bodong di Maluku Utara bahkan merugikan masyarakat mencapi Rp 2 triliun. Dalil yang di tawarkan ialah bunga yang tinggi. Artinya jika anda menanam modal 1 juta maka bunga yang dihasilkan sebesar 2-5 juta pada satu atau dua bulan setelahnya.
Investasi ini menarik minat hampir 70 persen masyarakat di Maluku Utara terutama PNS, anggota TNI, Polisi, pegawai honorer, dosen, politisi hingga lapisan masyarakat ekonomi rendah.
Pembukaannya pun tak main-main, dihadiri oleh Walikota dan diresmikan secara sah. Selain itu kepercayaan masyarakat juga karena adanya label OJK. Di mana pemahaman masyarakat mengangap bahwa OJK merupakan salah satu sandaran perusahaan ini dapat terjamin dan tak bohong layaknya Bank.Â
Padahal, presepsi mereka sangat salah. Karena lembaga OJK hanya melakukan audit keuangan perusahaan pada waktu pembukaan dulu. Di mana stabilisasi keuangan perusahaan masih stabil. Bukan Jaminan atau pemberi jaminan.
Banyak PNS menggadaikan SK ke Bank kemudian menginvestasikan ke perusahaan investasi tersebut. Gaji pegawai hingga modal bisnis bahkan modal nikah juga tak ketinggalan di investasikan.
Pada awalnya sitem ini berjalan baik. Beberapa nasabah bahkan berhasil membeli mobil dan rumah pada periode pertama investasi. Alhasil, cerita dan desas-desus kesuksesan itu hinggap di kepala masyarakat. Maka tingkat pertumbuhan investasi di beberapa perusahaan meningkat. Tak main-main, satu orang bisa menginvestasikan 5 juta sampai 1 Milyar.
Masalah ini menimbulkan kepanikan dan kestabilan sosial. Semua pihak mencoba mencari solusi, diskusi-diskusi dan FGD dilakukan untuk memecahkan masalah yang terlanjur melilit warga.Â
Wong kepanikan warga tak ada yang bisa menahan. Apalagi si pasukan anti rusuh aja jadi korban. Hingga, para founder ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Dan uang nasabah? Tak pernah kembali lagi.Â
Belakangan, fenomena ini muncul kembali dengan istilah baru " saham". Masyarakat membeli saham dan di pertaruhkan. Bisa di bilang ini judi. Tapi geliat pertumbuhannya pasti sudah tinggi apalagi jika ada satu atau dua orang yang berhasil menang dan membagi cerita ke pihak lain. Yap, tentu saja bagi saya sendiri ini ialah bagian dari marketing agar menarik minat banyak orang.
Saya yakin, apa yang dilakukan oleh kawan saya akibat ketidaktelitian dan minimnya pemahaman investasi. Apalagi, omongan dan bisikan dari teman-temannya.
Edukasi mengenai kegiatan-kegiatan seperti ini sangat minim. Masyarakat yang tergiur oleh sesuatu yang instan tanpa kerja keras adalah salah satu ciri lemahnya pemahaman. Ciri ini melakat erat di Indonesia.Â
Ketidaktelitian, minim informasi, sifat instan dan percaya pada hoaks merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keterjebakan masyarakat dalam masalah-masalah seperti ini. Apalagi, masyarakat kita senang begulat pada berita-berita hoaks.
Salah satu hal yang menjadi perhatian penulis sendiri ialah sifat menjadi kaya secara instan tanpa perlu kerja keras. Bagi saya sendiri ini adalah tanda-tanda bahwa di banyak masyarakat kita di Indonesia, kerja keras masih belum menjadi budaya kita. Terima Kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H