Nikmatnya kopi lesehan di Taman Tugu Proklmasi malam ini menemani perbincangan saya dengan salah satu adik dari Maluku Utara. Ia kebetulan rindu berdiskusi dengan saya. Ditambah, kami sudah lama tak ketemu.Â
Ia yang memutuskan kuliah di Jakarta, ngebet ingin bertemu. Dan, kebetulan saya sedang berada di Jakarta maka pertemuan itu terlaksana.Â
Kami memilih ngopi di atas trotoar ketimbang memilih ngopi agak kelas disamping tempat duduk kami saat ini. Pilihan itu mendasar, toh dalam situasi Covid -19 saat ini, kami tak mau ikut menciptakan keramaian.
Dua gelas kopi disajikan ibu penjual di depan kami. Kopi yang ia sajikan hanya kopi sacshet di tuangi air panas dari termos. Kami memulai obrolan yang kebanyakan di isi oleh petuah-petuah dari saya tentang visi kedepan.
Belum lama kami mengobrol, kira-kira sejam. Telepon saya berdering. "Halo, di mana?" tanyanya.
"Di Tuprok bang," sahutku. Ia kaget. Sepengetahuan dia, saya sedang berada di Kota Bogor.
"Ke rumah sekarang, penting," perintahnya.
Saya pun mengiyakan ajakannya dengan hati berat. Padahal obrolan saya dengan adik saya, sudah menuju pembahasan jika dalam sebuah karya ilmiah.
Setelah berpamitan, saya kemudian menuju rumah nya di bilangan Matraman. Sesampainya di sana dan belum sempat melepas sepatu, orang yang mengajak saya kerumah langsung mengeluarkan kata-kata super.
"Semua gara-gara ngana (kamu)," semprotnya dihadapan saya yang kebengongan.
"Loh kok beta (Aku,saya)," sahutku. "Ia gara-gara kamu semuanya berantakan," Ia kemudian duduk dan mengambil sebuah rokok kretek. Saya diam, masih menerka-menerka kemarahannya