Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Anak dan Kekerasan Seksual

24 Juli 2020   02:18 Diperbarui: 24 Juli 2020   11:06 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Beta mau jadi dokter, supaya bisa suntik kaka,". Ungkap gadis kecil bernama Sartika atau orang-orang kampung sini memanggilnya si Ibu dokter.

Berbeda dengan Salha, teman sebaya Tika yang ingin menjadi Polwan. Keduanya sedang asik bermain pasir di pantai saat saya bertanya.

Keduanya baru akan bersekolah pada Tahun Ajaran 2020 ini. Tika maupun Salha, yang bermimpi menjadi dokter dan polwan ini selalu mengeluh-eluhkan mimpi kemana pun mereka bermain.

Bahkan ketika bermain bersama teman sebaya, memainkan permainan rumah-rumahan keduanya selalu berperan menjadi apa yang mereka cita-citakan. Lantas bagaimana jika mereka berdua dan anak-anak di belahan negeri ini dengan mimpi-mimpi besar mengalami trauma dan tak mau bercita-cita lagi?

Tak dapat dipungkiri, setiap anak memiliki mimpi kecil yang sangat di yakini. Mimpi dan cita-cita itu akan terbentuk bahkan berubah seiring perjalanan yang membentuk karakater mereka dalam memilih nanti.

Perjalanan kehidupan akan ditempa oleh lingkungan dan terbentur oleh perubahan jaman. Pada lingkungan, mereka akan belajar pada keadaan di mana peran orang tua dan masyarakat ialah guru dalam cara mereka berpikir dan belajar. Sementara, pada perubahan jaman akan membentuk bagaimana mereka bersikap.

Saat ini,resiko-resiko yang dihadapi oleh anak-anak sangatlah besar terutama kekerasan . Berbagai kasus kekerasan selalu menimpa anak-anak. Seperti salah satu korban pemerkosaan ayahnya yang sempat menjadi berita utama beberapa bulan lalu.

Saya menangkap setiap kekesalan dan mimpi yang hancur dalam setiap kata yang ia keluarkan saat wawancara.
 
"Kaka, saya mau bunuh diri saja. Nanti Mawar (nama sebutan) pe teman-teman bilang apa,"? Sambil menangis di temani ibunya dan pihak psikolog.

Ibunya tampak syok dengan keadaan yang mereka alami terutama oleh anaknya. Ia tak habis pikir jika ayahnya sendiri, menghancurkan masa depan dan menanamkan sebuah strukutur kepada anak nya, darah dagingnya.

Anak sekecil ini, menangung beban hidup sebesar gunung yang tak mampu di pindahkan. Beberapa tahun bulan belakangan, di Maluku Utara sendiri saja kasus pelecahan seksual terhadap anak meningkat tajam. Kasus itu dari pemerkosaan, pelecehan hingga pembunuhan.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Simfoni PPA hingga tahun 2020 jumlah kekerasan anak mencapai 57 anak dengan presentase 50 orang berjenis kelamin  perempuan. Angka ini sesuai fakta dilapangan di mana tejadi peningkatan kasus pelecehan terhadap anak kurung waktu 2 tahun belakang yang meningkat signifikan di 10 Kabupaten/Kota.

Saya sendiri selalu melayangkan kritik kepada pemerintah terutama kepada lembaga-lembaga yang bergerak dalam advokasi perlindungan anak dan wanita karena sering terlambat merespon kejadian-kejadian seksual yang meninpa anak-anak. Apalagi kebanyakan dari anak-anak-anak korban seksual mengalami trauma yang mendalam.

Kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kejahatan yang tidak manusiawi. Anak-anak yang seharusnya dilindungi justru merupakan pihak yang paling sering menerima kekerasan baik di rumah maupun di luar rumah. Kekerasan fisik, seksual, bulling adalah sekian dari banyak masalah yang dihadapi anak-anak di seluruh tak terkecuali Indonesia.

Bahkan tingkat kekerasan setiap tahun terus meningkat. Menurut  Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sejak 2016 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang masuk meningkat 100 persen tiap tahunnya.( baca Kompas). LPSK juga mengungkapkan bahwa setiap tahun terdapat sediktinya 4 kasus kekerasan seksualitas  pada anak.


Pada Tahun 2020, berdasarkan data Kementrian Perempuan dan Anak jumlah kasus  kekerasan terhadap anak sebesar 7.241 kasus dengan presentase perempuan 79.9 persen dan laki laki 20.1 persen. Rasio penyebaran anak korban kekerasan berada di tertinggi berada di Aceh, Jambi, Bangka Belitung, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Papua.


Sumber : Simfoni PPA
Sumber : Simfoni PPA
Sumber: Simfoni PPA
Sumber: Simfoni PPA
Peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak pada periode pademik Covid-19 saat ini, juga mengalami peningkatan cukup signifikan. Penutupan sekolah dan pembatasan gerak menyebabkan kondisi kekerasan menjadi meningkat. 

Berdasarkan laporan dari  Global status report on violence against children 2020, Word Healt Oganitazion (WHO)Secara global, diperkirakan satu dari dua anak berusia 2-17 Tahun masing-masing mengalami beberapa bentuk kekerasan setiao tahub. Sepertiga siswa berusia 11-15 tahun  di seluruh dunia telah diganggu oleh rekan-rekan mereka dalam sebulan terakhir, dan diperkirakan ada 120 juta anak perempuan menderita beberapa bentuk kekerasan seksual yang dipaksakan sebelum usia 20 tahun.

Sumber : WHO
Sumber : WHO
Masih pada laporan yang sama, WHO mengungkapkan Hampir 3 dari 4 anak atau 300 juta anak usia 2-4 tahun secara teratur menderita hukuman fisik dan atau kekerasan psikologis pada tangan orang tua dan pengasuh 1 dari 4 anak berusia di bawah 5 tahun yang hidup dengan seorang ibu yang adalah korban intim pasangan kekerasan. 

Kekerasan tersebut diantaranya kekerasan mencakup bentuk kekerasan terhadap orang berusia lanjut di bawah 18 tahun, yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh lainnya, teman sebaya, atau orang asing; kekerasan fisik, kekerasan seksual dan emosional juga sebagai saksi kekerasan

"Menurut analisis kami, 99 persen anak-anak dan remaja di bawah 18 tahun di seluruh dunia (2,34 miliar) tinggal di salah satu dari 186 negara dengan beberapa bentuk pembatasan gerakan yang berlaku karena COVID-19. Enam puluh persen dari semua anak tinggal di salah satu dari 82 negara dengan penguncian penuh (7%) atau sebagian (53%) dari 1.4 milyar jiwa" Statmen UNICEF Executive Director Henrietta Fore


Sementara untuk Indonesia sendiri, masih tinggi tingkat kekerasan terhadap anak. Survei nasional tentang kekerasan terhadap anak-anak, diselesaikan pada tahun 2018 oleh MoWECP, dikutip dari www.unicef.org/indonesia/topics/violence-against-children menemukan bahwa sebagai sebanyak 62 persen anak perempuan dan laki-laki mengalami satu atau lebih bentuk kekerasan selama hidup mereka. 

Survei menemukan bahwa satu dari setiap 11 anak perempuan dan satu dari 17 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual, dan 3 dari 5 anak perempuan dan separuh dari semua anak laki-laki mengalami kekerasan emosional.


"Sebelum pandemi, angka kekerasan terhadap anak-anak di Indonesia sudah tinggi: 60 persen anak-anak berusia antara 13 dan 17 dilaporkan mengalami satu bentuk kekerasan (fisik, psikologis / emosional atau seksual) selama masa hidup mereka. Anak-anak di rumah tangga kemiskinan mengalami kekerasan yang lebih tinggi daripada di rumah tangga yang di kepalai oleh laki-laki.38 Di Indonesia 8,2 juta anak dirawat oleh pengasuh lansia, dan berisiko lebih tinggi untuk itu kehilangan pengasuh mereka karena COVID-19,39 Khususnya, Jawa Barat, Timur, dan Tengah." Unicef Indonesia

Tingginya angka kekerasan seksual pada anak dan remaja saat ini juga di hadapkan pada Rancangan UUD Penghapusan kekerasan Seksual (UU PKS). Hal ini lantaran, UU ini dinilai mengabaikan inti dari pembahasan tentang kekerasan seksual. 3 point yang masih diperdebatkan di  RUU PKS yaitu mengatur jenis kekerasan seksual seperti perbudakan seksual, eksploitasi seksual, serta pemaksaan perkawinan. Padahal ini merupakan inti untuk mencegah secara sistem yang dapat mengakomodir hal-hak korban seksual.

Apapun itu, menurut hemat saya, kejahatan seksual terutama pada anak merupakan tindakan yang kejam. Selama ini efek jera saja tidak mampu meredam tingkat kejahatan ini. Olehnya itu, di Hari Anak Nasional ini edukasi dari dan luar keluarga harus gencar dilakukan. Pendidikan edukasi seks dan pencegahan tindak pelecehan harus diajarkan baik orang tua, guru, mahasiswa dan pihak-pihak terkait . Mari terus mengadvokasi...terima kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun