"Beta mau jadi dokter, supaya bisa suntik kaka,". Ungkap gadis kecil bernama Sartika atau orang-orang kampung sini memanggilnya si Ibu dokter.
Berbeda dengan Salha, teman sebaya Tika yang ingin menjadi Polwan. Keduanya sedang asik bermain pasir di pantai saat saya bertanya.
Keduanya baru akan bersekolah pada Tahun Ajaran 2020 ini. Tika maupun Salha, yang bermimpi menjadi dokter dan polwan ini selalu mengeluh-eluhkan mimpi kemana pun mereka bermain.
Bahkan ketika bermain bersama teman sebaya, memainkan permainan rumah-rumahan keduanya selalu berperan menjadi apa yang mereka cita-citakan. Lantas bagaimana jika mereka berdua dan anak-anak di belahan negeri ini dengan mimpi-mimpi besar mengalami trauma dan tak mau bercita-cita lagi?
Tak dapat dipungkiri, setiap anak memiliki mimpi kecil yang sangat di yakini. Mimpi dan cita-cita itu akan terbentuk bahkan berubah seiring perjalanan yang membentuk karakater mereka dalam memilih nanti.
Perjalanan kehidupan akan ditempa oleh lingkungan dan terbentur oleh perubahan jaman. Pada lingkungan, mereka akan belajar pada keadaan di mana peran orang tua dan masyarakat ialah guru dalam cara mereka berpikir dan belajar. Sementara, pada perubahan jaman akan membentuk bagaimana mereka bersikap.
Saat ini,resiko-resiko yang dihadapi oleh anak-anak sangatlah besar terutama kekerasan . Berbagai kasus kekerasan selalu menimpa anak-anak. Seperti salah satu korban pemerkosaan ayahnya yang sempat menjadi berita utama beberapa bulan lalu.
Saya menangkap setiap kekesalan dan mimpi yang hancur dalam setiap kata yang ia keluarkan saat wawancara.
Â
"Kaka, saya mau bunuh diri saja. Nanti Mawar (nama sebutan) pe teman-teman bilang apa,"? Sambil menangis di temani ibunya dan pihak psikolog.
Ibunya tampak syok dengan keadaan yang mereka alami terutama oleh anaknya. Ia tak habis pikir jika ayahnya sendiri, menghancurkan masa depan dan menanamkan sebuah strukutur kepada anak nya, darah dagingnya.
Anak sekecil ini, menangung beban hidup sebesar gunung yang tak mampu di pindahkan. Beberapa tahun bulan belakangan, di Maluku Utara sendiri saja kasus pelecahan seksual terhadap anak meningkat tajam. Kasus itu dari pemerkosaan, pelecehan hingga pembunuhan.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Simfoni PPA hingga tahun 2020 jumlah kekerasan anak mencapai 57 anak dengan presentase 50 orang berjenis kelamin  perempuan. Angka ini sesuai fakta dilapangan di mana tejadi peningkatan kasus pelecehan terhadap anak kurung waktu 2 tahun belakang yang meningkat signifikan di 10 Kabupaten/Kota.