Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Begini Cara Kami Pulang Kampung

9 Juli 2020   11:38 Diperbarui: 9 Juli 2020   14:35 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tentang perjalanan, semua orang punya cara masing-masing."

Perjalanan kemana saja selalu menyenangkan. Apalagi, dunia transportasi saat ini sudah jauh lebih baik. Transportasi darat, laut, maupun udara selalu menjadi alternatif bagi siapa saja.

Namun, tidak semerta-merta perbaikan sarana transportasi diikuti kesamarataan pembangunan disemua wilayah. Sebut saja wilayah Timur atau di daerah saya Maluku Utara.

Di wilayah ini akses transportasi memang sudah cukup lumayan, tetapi tidak bagi pulau-pulau kecil, terpelosok maupun pulau terluar. Kita masih disuguhkan dengan moda transportasi laut yang kadangkala mengancam jiwa.

Terkadang Laka laut sering terjadi. Segala kebijakan perbaikan juga cenderung belum signifikan mempengaruhi.

Alhasil, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan. Dirugikan persoalan waktu, uang hingga distribusi ekonomi yang timpang apalagi di saat musim ombak.

Sebab, aktivitas ekonomi tidak dapat berjalan. Dimana mayoritas ekonomi masyarakat masih tergantung pada salah satu daerah.

Dalam tulisan ini, saya akan berbagi pengalaman melakukan perjalanan yang sudah sering kami lalui. Perjalanan pulang -pergi menggunakan moda transportasi laut. Lebih tepatnya Speed Boat. Yap,satu-satunya moda yang digunakan untuk sampai ke desa atau kampung halaman saya.

Dulunya, saya masih mengingat betul pada periode 90-an silam (antara 91-2000), moda transportasi yang kami gunakan ialah moda transportasi Motor Kayu. Motor kayu ini dilengkapi mesin Yamaha 40 PK berbahan bakar minyak tanah.

Dokpri. Motor Kayu di foto dari Pulau Maitara belatar pulau Tidore
Dokpri. Motor Kayu di foto dari Pulau Maitara belatar pulau Tidore
Perjalanan menggunakan moda ini terasa begitu lama. Jika kami keluar dari kampung sekira pukul 08.00 maka untuk sampai di tujuan sekira pukul 03.00 WIT. Ini karena, pada setiap kampung kapal-kapal ini akan berlabuh dan mengambil penumpang. Tidak ada jembatan atau sentra pelabuhan terpusat di pulau kami. Alhasil, setiap kampung harus di singgahi dan memakan waktu 3-1 jam dalam memuat barang atau orang.

Seiring berkembangnya moda transportasi dan pilihan yang efisien, para pengusaha mengganti seluruh kapal kayu dengan speed boat berkapasitas 60 an orang. Walaupun pada prakteknya jumlah penumpang ini over kapasitas bisa mencapai 80an lebih orang pada saat menjelang mudik (Idul Fitri).

Tarif yang di patok tergantung, orang dewasa 60 ribu minus barang bawaan sedang remaja dan anak-anak 50-40. Perjalanan menggunakan moda ini menjadi lebih baik. Efisiensi waktu menjadi terpangkas. Dari sebelumnya 6 jam bisa menjadi 3 jam atau sekitar 50 persen. Akan tetapi, pola memuat penumpang masih sama. Di setiap kampung perlu di singgahi. wkwkwkw.

Cerita menggunakan moda ini sangat menarik. Kita perlu pintar-pintar menjadi penumpang. Sebelum itu, saya ingin menggambarkan kenapa harus memakai moda ini.

Pertama, desa saya ialah desa pesisir yang masuk ke Kabupaten Halmahera selatan. Walaupun secara geografis kampung kami yakni Kampung Makian lebih dekat ke Kota Ternate dan Kota Tidore akan tetapi pembagian wilayah administrasi didasarkan pada wilayah administrasi Kesultanan Bacan.

Di Maluku Utara terdapat 4 kesultanan besar yakni Kesultanan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan (jazirah Al Mulk). Kampung kami, Makian ialah wilayah Kesultanan Bacan yang dulunya juga merupakan Lokasi Istana Kerajaan. Setelah Meletus gunung Kie Besi, Kesultanan Bacan kemudian pindah ke Pulau Kasiruta (Tempat penghasil batu Bacan yang tersohor) dan kemudian pindah ke pulau utama yakni pulau Bacan hingga sekarang.

Pulau Makian di kenal dengan Pulau Kenari, karena kenari berkualitas tinggi dihasilkan di daerah ini. Berdasarkan sejarah, pohon kenari ini merupakan pohon hasil konfontrasi belanda yang ingin menguasi rempah-rempah (cengkih dan pala) dari pihak portugis. Pada saat itu, dengan niatan monopoli, pala dan cengkih di tebang dan di ganti pohon kenari.

Di Pulau ini, terdapat 2 suku. Yakni Suku Makian dalam dan suku Makian luar. Mendengar namanya saja pasti kita berpikir bahwa suku Makian dalam berada di pegunungan atau lain-lain sedangkan suku makian luar berada di pesisir-pesisir.

Tetapi tidak demikian, persamaan kedua suku ini ialah sama-sama berada di pesisir sedangkan perbedaannya ialah bahasa. 180 derajat bahasa suku makian luar dan suku makian dalam sangat jauh. Ibarat Bahasa Indonesia dengan Bahasa Thailand.

Di Makian dalam, akses transportasi laut sudah begitu maju. Baik moda transportasi sampai infrastuktur. Sehingga masyarakat punya pilihan-pilihan melaksanakan perjalanan. Berbeda dengan yang ada di makian luar, baik moda maupun fasilitas sangat tidak mendukung. Jangankan jembatan, jembatan labuh saja di atas karang-karang. 

Lantas kenapa tidak melakukan perjalanan lewat makian dalam? karena akses darat tidak semuda yang dibayangkan. Tidak ada jalan hotmix yang ada jalan kebun, jembatan yang putus dan banyaknya jurang alias kali mati hanya pada satu pulau. Jalur yang terbentuk karena letusan gunung merapi.

Lantas apa bagaimana kami melakukan perjalanan ke desa di Pulau Makian Luar? pertama berburu dengan waktu, nyali yang kuat dan basah-basahan.

Saat ingin kembali ke Desa, khususnya desa saya, Mateketen, kita perlu melakukan persiapan. Informasi harus terlebih dulu di dapati. Informasi ini berupa speed boat apa dan milik siapa yang datang ke Kota hari ini.

Sesuatu yang paling unik ialah, penyebutan nama moda transportasi didasarkan pada nama pemilik yang berperan sebagai kapten. Mereka ialah Hi. Dar, Mudakir dan Hi Anan. Sematan pada mereka pun macam-macam. Kapten Jahat, orang nekat dll.

Setelah mengetahui informasi, malamnya kita tidak bisa begadang atau minimal ketika tidur kita terlebih dulu berpesan agar di bangunkan tepat saat Sholat Subuh. Jika tidak, maka anda dipastikan gagal berangkat karena speed boat terlebih dulu berangkat. Jam-jam ini bisa berubah jika tiba hari raya. Penumpang bisa bermalam atau datang mulai pukul 1 malam hanya  agar tidak ketinggalan.

Speed boat akan berangkat pada pukul 05.30 atau 06.00 WIT setelah mendapat ijin oleh KPLP atau petugas pelabuhan dengan selembar kertas ijin berlayar.

Dokpri. Penumpang yang duduk di atas Kapal
Dokpri. Penumpang yang duduk di atas Kapal
Sesaat sebelum berlayar, ABk maupun kapten kapal akan menyuruh penumpang duduk di dalam. Sebab, kami para penumpang entah kebiasaan atau budaya lebih suka duduk di atas speed boat ketimbang di dalam speed boat yang tersedia kursi-kursi. Atas hal ini pula, masyarakat sering melabeli kami dengan suku bandel dan pemberani. 

Situasi ini terjadi setiap hari, baik lautan sedang buruk maupun tidak. Setelah keluar dari pelabuhan dan melewati celah antar pulau Maitara dan Tidore, penumpang baik orang dewasa, anak kecil, pria maupun wanita bergegas keluar dan duduk di atas speed boat. Bagi yang tidak kedapatan tempat maka ia tetap berada di dalam.

Perjalanan menggunakan speed boat penuh suka dan duka. Dukanya, kita yang duduk di atas harus rela kepanasan dan di musim ombak, nyali kita harus kuat. Saat ombak-ombak menghantam bodi atau speed boat oleng ke kiri atau kanan. 

Sukanya, kita di manjakan oleh gugus pulau-pulau yang di lewati, mata termanjakan dengan ikan-ikan terbang yang melayang di udara serta lumba-lumba yang bermain di bawah kapal.

Dokpri. Salah seorang nelayan di depan Pulau Tidore
Dokpri. Salah seorang nelayan di depan Pulau Tidore
Saya, salah satu orang yang menikmati pemandangan ini. Percikan ombak, benturan geladak kapal memecah ombak, nyayian merdu pecahan ombak terasa begitu menyegarkan jiwa. Angin sepoi-sepoi menjadi pelengkap. Sumber-sumber inspirasi berdatangan silih berganti. Tentang aku, Mimpi dan harapan.

Setelah melewati Pulau Maitara, Tidore, dan Mare, persinggahan pertama speed boat ialah pulau Moti. Pulau ini Masuk Wilayah Administrasi Ternate alias wilayah Kesultanan Ternate. Pulau ini ialah pulau sejarah dimana empat kesultanan melakukan pertemuan untuk bergabung ke Indonesia. Pertemuan itu di kenal dengan Moti Verboun.

Di sini terdapat dua kampung yang di singahi. Satu memiliki jembatan semi beton yang ketika speed boad akan sandar harus memasuki celah antar karang yang dipecahkan untuk jalan masuk dan satunya harus menggunkan sampan ke bibir karang karena tida bisa di masuki.

Dokpri. Membeli jajanan
Dokpri. Membeli jajanan
Di sini anda bisa membeli bekal jika kehabisan bekal. Krena salah satu sumber penghasilan pedagang makanan disini ialah dengan menawarkan jajajan kepada penumpang baik yang pergi ke kampung atau pulang .

Setelah selesai menunrunkan penumpang, speed boat akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Makian alias Makian Luar. Desa yang di singgahi ialah desa Sabale, Talapao, Mateketen (Desa Saya), Tagono, Ombawa dan Bobawa serta Malapa.

Dari semua desa itu hanya Malapa, desa terakhir yang memiliki jembatan selebihnya tidak ada. Ketika turun maka jangan harap kami turun seperti turun dari pesawat. Menarik koper, menenteng tas, sepatu bersih ditambah kacamata hitam. Duh keren...

Penumpanh Turun. Dokpri
Penumpanh Turun. Dokpri
Turun di desa ini terutama desa saya anda harus rela basah-basahan alias mandi. Jika dalam musim ombak anda bakalan basah kuyup dari kepala sampai rambut atau bisa menggunakan sampan ya walaupun basah juga. Jika tidak musim ombak anda akan basah hingga pinggul. artinya ya basah. Maka jangan berpikir pakai sepatu atau celana panjang. wkwkw

Kondisi ini setiap hari di rasakan masyarakat untuk pulang dan pergi mereka dan kami butuh perjuangan. Tidak adanya jembatan dan moda transportasi sebagai pilihan menjadikan keadaan ini sudah di maklumi oleh masyarakat.

Banyak janji pembangunan yang di galakan,bauk pemerintah maupun politisi. Pada musim kampanye,janji-jani diumbar akan tetapi tak kunjung terealisasi. Bahkan setingkat aliran listrikpun tidak nyala 24 jam alias setengah hari. Jalan darat? apalagi sejak pembukaan jalan 2003 silam hingga kini tak ada perkembangan.

Naik Menggunakan sampan. Dokpri
Naik Menggunakan sampan. Dokpri
Begitulah cerita perjalanan kami di Indonesia Timur. Apapaun itu, perjalanan selalu menyenangkan dan banyak hal yang dapat dipelajari.

Sebab, semua orang punya pilihan dalam perjalanan. Yang tidak mengenakan ialah ketika kita tidak punya pilihan sama sekali dari pembangunan. 

Terima Kasih

Dokpri
Dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun