Setelah mengetahui informasi, malamnya kita tidak bisa begadang atau minimal ketika tidur kita terlebih dulu berpesan agar di bangunkan tepat saat Sholat Subuh. Jika tidak, maka anda dipastikan gagal berangkat karena speed boat terlebih dulu berangkat. Jam-jam ini bisa berubah jika tiba hari raya. Penumpang bisa bermalam atau datang mulai pukul 1 malam hanya  agar tidak ketinggalan.
Speed boat akan berangkat pada pukul 05.30 atau 06.00 WIT setelah mendapat ijin oleh KPLP atau petugas pelabuhan dengan selembar kertas ijin berlayar.
Situasi ini terjadi setiap hari, baik lautan sedang buruk maupun tidak. Setelah keluar dari pelabuhan dan melewati celah antar pulau Maitara dan Tidore, penumpang baik orang dewasa, anak kecil, pria maupun wanita bergegas keluar dan duduk di atas speed boat. Bagi yang tidak kedapatan tempat maka ia tetap berada di dalam.
Perjalanan menggunakan speed boat penuh suka dan duka. Dukanya, kita yang duduk di atas harus rela kepanasan dan di musim ombak, nyali kita harus kuat. Saat ombak-ombak menghantam bodi atau speed boat oleng ke kiri atau kanan.Â
Sukanya, kita di manjakan oleh gugus pulau-pulau yang di lewati, mata termanjakan dengan ikan-ikan terbang yang melayang di udara serta lumba-lumba yang bermain di bawah kapal.
Setelah melewati Pulau Maitara, Tidore, dan Mare, persinggahan pertama speed boat ialah pulau Moti. Pulau ini Masuk Wilayah Administrasi Ternate alias wilayah Kesultanan Ternate. Pulau ini ialah pulau sejarah dimana empat kesultanan melakukan pertemuan untuk bergabung ke Indonesia. Pertemuan itu di kenal dengan Moti Verboun.
Di sini terdapat dua kampung yang di singahi. Satu memiliki jembatan semi beton yang ketika speed boad akan sandar harus memasuki celah antar karang yang dipecahkan untuk jalan masuk dan satunya harus menggunkan sampan ke bibir karang karena tida bisa di masuki.
Setelah selesai menunrunkan penumpang, speed boat akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Makian alias Makian Luar. Desa yang di singgahi ialah desa Sabale, Talapao, Mateketen (Desa Saya), Tagono, Ombawa dan Bobawa serta Malapa.
Dari semua desa itu hanya Malapa, desa terakhir yang memiliki jembatan selebihnya tidak ada. Ketika turun maka jangan harap kami turun seperti turun dari pesawat. Menarik koper, menenteng tas, sepatu bersih ditambah kacamata hitam. Duh keren...
Kondisi ini setiap hari di rasakan masyarakat untuk pulang dan pergi mereka dan kami butuh perjuangan. Tidak adanya jembatan dan moda transportasi sebagai pilihan menjadikan keadaan ini sudah di maklumi oleh masyarakat.
Banyak janji pembangunan yang di galakan,bauk pemerintah maupun politisi. Pada musim kampanye,janji-jani diumbar akan tetapi tak kunjung terealisasi. Bahkan setingkat aliran listrikpun tidak nyala 24 jam alias setengah hari. Jalan darat? apalagi sejak pembukaan jalan 2003 silam hingga kini tak ada perkembangan.