Ji, apakah kamu yakin pejabat-pejabat diatas sana, yang bergelimang harta, punya dua sampai tiga istri, mobip mewah dan rumah berlantai tidurnya ngorok? Tanyanya.
Saya terbengong-bengong dan belum sempat menjawab, ia melanjutkan " mereka tidak bahagia.".
Lah kok bisa pak guru? Tanyaku penuh keheranan.
Iyalah, wong mereka baru tidur sudah di gedor pintunya oleh wartawan dan tukang pencari receh yang hobinya membohongi pejabat. Syukur-syukur kalau pejabatnya ngak koruo, kalau korup, bangun tidur dibawah pintu dapat surat cinta dari amplok coklat, stroke lah.
Belakangan baru saya ketahui, amplop coklat yang dimaksud adalah panggilan dari penegak hukum (kejaksaan dan kepolisian).
Sebelum beliau pamit dan saya yang akan melanjutkan perjalanan, beliau berpesan. Saya daripada jadi pejabat, tidur tidak ngorok, hati gelisah karena rebutan jabatan mending saya jadu gula sembari sambilan dagang kecil-kecilan. Hidup bahagia, tak ada masalah sama orang, makan halal apalagi berbagi. Dunia dapat, surga dapat, ( sambil ketawa).
Ternyata sesimpel itu mereka menjalani hidup. Tanpa konflik. Tanpa gaduh. Apalagi sampai bunuh-bunuhan.
Kita hanya perlu kembali menafsir diri dan memilah, mana yang baik untuk dijalani dan mana yang tidak dipilih untuk dipertentangkan. Jika hal demikian berlaku, maka hemat saya, saat ini kita akan akur-akur saja.Â
Tidak ada kegadugan yang berkembang besar. Akan ada kesejateraan tercipta dimana-mana. Tidak ada buly membuly, sara, tidak ada hatam baku hantam hanya karena kepentingan sesaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H