Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kau hanya Perlu Memahami Senyum Walau Sedang Marah

30 Agustus 2019   01:22 Diperbarui: 31 Agustus 2019   01:51 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apalah arti kebahagian jika dalam pelukan masih terdapat tangis, dan  senyum masih terdapat kesal. Kita hanya perlu memahami senyum walaupun sedang marah"

Petikan diatas terlintas begitu saja, ketika ide untuk menulis hadir tiba-tiba. Saat melihat sepasang suami-istri penjual bubur kacang hijau bercanda gurau dan saling merayu.

Saat, para ojek memanggil-manggil para penumpang yang keluar rumah sakit, dan seorang pengemudi mobil yang dimaafkan dengan senyum oleh si pengendara motor karena tanpa sengaja menyeruduk sebuah sepeda motor yang terparkir dibelakangnya.

Tidak ada ego, tidak ada riak dan raut kemarahan walaupun nampak lelah tergambar jelas di wajah. Semua berjalan alami walau hari terlampau panjang dijalani. 

Seperti halnya malam ini, ketika berbincang dengan seorang satpam rumah sakit. Harun namanya,pria hitam yang selalu melempar senyum, sapa dan cekatan melayani para pelayat. Walaupun jam besuk telah selesai ia dengan cekatan melayani semuanya. Penuh keihlasan.

Berbekal dua gelas kopi hitam yang tanpa pikir panjang aku pesan, dan menemani beliau sambil membuka obrolan. 30 tahun lamanya ia bekerja sebagai satpam. Dari perusahaan ke perusahaan. Dari rumah sakit ke rumah sakit. 

Ia dengan senyum menceritakan pengalaman-pengalamanya. Dibalik cerita-ceritanya, Pria 50 Tahun ini memberikan pesan tersirat. Ia bercerita, pernah suatu hari seorang pelayat datang menemui kerabatnya yang sedang sakit.

Tanpa disadari, ia menjatuhkan uang hasil penjualan tanah. Nilainya kata pak Salim sangat tebal, sembari memperagakan betaoa tebalnya uang itu lewat gerakan tangan.

Setelah beberapa saat, orang ini kemudian kebingungan ketika mengetahui uang yang ia pegang telah raib. Dengan cekatan pak salim bertanya. " Ada apa pak"? 

"Uang saya jatuh entah dimana". Keluh si pemilik uang.

Ternyata pak salim sudah lebih dulu mengamankan uang tersebut dan mencatat plat nomor kendaraan yang tadi ditumpanginya.

Untuk memastikan bahwa uang itu benar-benar miliknya, pak Salim kemudian menyuruh pemilik uang untuk menutup mata. Dan, akan memberikan aba-aba agar membuka mata. Setelah aba-aba oleh pak salim, uang tersebut sudah di depan mata. Sang pemilik uang sangat bersyukur dan mengucapkan banyak terima kasih. Kata pak salim, entah apa yg terjadi jika uang itu hilang. 

Banyak cerita yang sama ia bagikan. Sebelum, ia berpesan. Bahwa semua cerita kehilangan tadi, jika bukan saya ( pak salim) maka mungkin tidak akan ditemukan lagi. Coba bayangkan jika itu orang lain. Mungkin raib dan hilang. 

"Apapun itu, saya selalu memandang hidup sangat indah ketika jujur, mengerjakan apapun seiklasnya dan jangan pernah mengambil milik orang lain". Pesannya.

Saya pun kaget dengan pesan beliau. Pesan yang sama dan pernah tertanam di benak saya ketika masih berumur 10 tahun silam. " Ninga niingo ma ninga niingo, manca diingo ma manca diingo", ( milik kamu milik kamu, milik orang milik orang).

Pesan ini membekas seketika. Pesan yang disampaikan nenekku ketika kami sedang menanam ubi dilahan perkebunan kami. Baginya, jika kita mengambil milik orang lain maka hidupmu tidak akan bahagia. Bahkan hidup tak segan mati tak bisa.

Baginya, dengan hidup seperti itu kita bisa menikmati apapun hasil kerja keras dengan sederhana. Bahkan ketika anda marah, anda dalam posisi tersenyum.

Sebuah pribahasa yang sampai kini tak mampu ku pahami. Apalagi, jika disandikan dengan hiruk-pikuk kehidupan saat ini yang serba kompleks. Demi mewujudkan kepuasaan batin, orang relah melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Pedangang pandai memainkan konsumennya, pencuri berani membunuh korbannya, anak kecil diperkosa bapaknya sampai istri-istri pandai diperdagangkan.

 Saya jadi mengingat sebuah pertemuan singkat dengan salah satu guru sewaktu sekolah ditingkat pertama. Di sebuah pelabuhan penyebrangan. Pak Junaidi namanya. Guru matematika yang hobi mengejar anak-anak yang bolos sekolah melompati pagar. Ya kalau di pikir percuma toh di kejar, wong pagarnya dari bambu dan tingginya hanya satu meter.

Beliau terpogo-pogo memikul 2 buah jerigen 25 Liter dari motornya ke sebuah speed boat. Pikirku waktu itu beliau sedang mengirim barang untuk keluarganya di seberang pulau. Namun, saya salah. Beliau berdagang.

Saya keheranan. Seorang guru yang hemat saya sudah tercukupi tapi tidak malu berjualan minyak dengan penuh semangat. Tanpa pikir panjang, beliau memanggil saya dan sedikit menanyakan aktivitas keseharian saya.

Rasa penasaran akhirnya mendorong saya untuk bertanya, "pak kenapa jualan minyak pak"?

Ji, apakah kamu yakin pejabat-pejabat diatas sana, yang bergelimang harta, punya dua sampai tiga istri, mobip mewah dan rumah berlantai tidurnya ngorok? Tanyanya.

Saya terbengong-bengong dan belum sempat menjawab, ia melanjutkan " mereka tidak bahagia.".

Lah kok bisa pak guru? Tanyaku penuh keheranan.

Iyalah, wong mereka baru tidur sudah di gedor pintunya oleh wartawan dan tukang pencari receh yang hobinya membohongi pejabat. Syukur-syukur kalau pejabatnya ngak koruo, kalau korup, bangun tidur dibawah pintu dapat surat cinta dari amplok coklat, stroke lah.

Belakangan baru saya ketahui, amplop coklat yang dimaksud adalah panggilan dari penegak hukum (kejaksaan dan kepolisian).

Sebelum beliau pamit dan saya yang akan melanjutkan perjalanan, beliau berpesan. Saya daripada jadi pejabat, tidur tidak ngorok, hati gelisah karena rebutan jabatan mending saya jadu gula sembari sambilan dagang kecil-kecilan. Hidup bahagia, tak ada masalah sama orang, makan halal apalagi berbagi. Dunia dapat, surga dapat, ( sambil ketawa).

Ternyata sesimpel itu mereka menjalani hidup. Tanpa konflik. Tanpa gaduh. Apalagi sampai bunuh-bunuhan.

Kita hanya perlu kembali menafsir diri dan memilah, mana yang baik untuk dijalani dan mana yang tidak dipilih untuk dipertentangkan. Jika hal demikian berlaku, maka hemat saya, saat ini kita akan akur-akur saja. 

Tidak ada kegadugan yang berkembang besar. Akan ada kesejateraan tercipta dimana-mana. Tidak ada buly membuly, sara, tidak ada hatam baku hantam hanya karena kepentingan sesaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun