Riska bergegas ke tepi pantai, setelah perahu sandar. Al bertanya, kakek berapa ekor? Hampir 100 lebih. Wah dengan girang mereka loncat-loncat tanpa sadar celana mereka telah basah oleh percikan ombak. Malam ini kita makan cumi goreng sahut kakeknya melihat keriangan mereka.
........
Suara kokok ayam, dan deburan ombak yang memecah bibir pantai serta ketukan beduk mesjid menandakan waktu telah masuk subuh. Tanpa pikir panjang Al membangunkan seisi rumah kemudian menyalakan obor dan ramai-ramai ke mesjid. Al..teriak salah seorang kawannya husen. Tidak bawa ember? Astga sahut al. Kemudian berlari kembali ke rumah dan menenteng dua ember. Sebelum mengaji di kampung ini, para anak santri harus mengisi penuh bak-bak air sang guru ngaji. Hal ini dilakukan untuk melatih disiplin dan tangung jawab mereka kepada guru ngaji yang tidak sekalipun di gaji.
Husen, hari ini kamu sekolah tidak? Tanya amir. Sekolah...
Tapi bukankah pak bisnu lagi sakit? Katanya beliau demam?....
Kita datang saja dulu, nanti kita tanyakan saat di sekolah. Pungkas Husen. Amir kemudian mengiyakan.
Pukul 10, anak-anak sudah datang ke sekolah. Sebuah bangunan tua bekas rumah. Atapnya dari daun sagu, dan dindingya bolong-bolong. Sesampai di sekolah ternyata benar engku Bisnu sapaan guru tersebut sedang sakit. Sehingga sekolah hari ini di liburkan. Selain karena hanya beliau yang memiliki hati mulia kembali mengajar setelah meletusnya gunung, engku Bisnu juga merupakan satu-satunya guru di kampung yang memiliki kemampuan karena bersokolah lebih tinggi.
Akhirnya, hari ini hanya akan di habiskan di kebun. Al dan riska kemudian menyusul kakek dan neneknya yang telah lebih dulu ke kebun. Sambil membawa sebotol air, mereka kemudian bergegas masuk kehutan. Ditengah perjalanan, riska mengatakan, " Al, aku ingin bercita-cita setinggi mungkin, aku ingin jadi polisi". Riska kemudian menunduk dan kembali berkata, aku ingin membuktikan bahwa tanpa didikan orang tua, kita pasti bisa.
Kita bisa, sambung Al. Jika kelak kita berhasil setidaknya kita harus memperbaiki kampung kita Riska. Biar tidak sombong di bilang orang.
Kemudian percakapan itu senyap..hanya derap langka kaki dan bunyi orang-orang berkomunikasi dengan teriakan maupun nyayian di sepanjang jalan. Al dan riska merupakan dua anak yang lahir hampir seumuran dan hanya berbeda tahun. Sejak kecil ayah Al sudah pergi tanpa ada sedikit gambaran tentang sosok ayahnya sedangkan ibunya sudah harus kembali bekerja di salah satu perusahaan kayu milik  penguasa saat itu di halmahera. Sedangkan riska masih sedikit beruntung, walaupun hidup tidak bersama dengan orang tuanya, Riska memiliki ganbaran yang jelas tentang oran tuanya karena sering berkunjung.
Mereka di asuh oleh kakek dan nenek mereka di kampung karena himpitan ekonomi saat itu yang begitu kuat. Maka sejak kecil, orang tua yang mereka anggap adalah kakek nenek mereka.