Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menakar Zaman (3)

11 Februari 2018   03:43 Diperbarui: 11 Februari 2018   05:11 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apalah daya sungguh sebuah mimpi adalah perjuangan. Tidak boleh kurang, tetapi harus di lebihkan. Bahkan ketika jarum-jarum menusuk-nusuk badan, ketika tombak-tombak mengujam. Lunglai, berdarah harus tetap berdiri tanpa sedikitpun kehilangan harapan. Begitulah khyalannya kali ini.

Di atas atap, di sebuah kota penuh mimpi orang-orang gila mengais rejeki. Dia menyulut rokok sedalam-dalamnya. Berteman kesunyian. Tak jarang memaki kesunyiam. Tidak pula ia menyalahkan kesunyian hanya saja, hal yang ia rasakan kali ini benar-benar sunyi, sepi.

Baru saja kemarin berlalu, ingatan kenangan kian menguat. Di tengah pusaran harapan ia bertahan pada memori-memori ingatanya. Dan jika bukan karena mimpi dan martabat keluarga, mungkin ia sudah akan menghabisi kesunyian lewat botol-botol mujarab dan rambut-rambut panjang yang melingkar tubuhnya. Tetapi, ia bertahan disini, sudut sepi sembari menghitung kesepiam yang entah kapan bisa berlalu.

Pada memori itu, ia mengenang. Percakapan yang dilalui. Tentang cerita sang kakek yang bertahan oleh amukan gunung berapi dan kehebatan sebagai seorang pelaut. Tentang cinta sang nenek dan kuasa kehidupan yang terangkai sederhana. Disana, dia mengingat.

Lamunanya kian kuat kembali merangkai satu demi satu kehidupan yang telah dia lalui. Sejak merayap, merangkak dan berlari. Menghitung berapa kali dekapan yang ia terima dan nyayian "ninak bobok" yang ia dengar. Menghitung berapa kali dia di kecup, di peluk dan di suapi. Dan, menghitung berapa kali waktu senja di pantai dalam dekapan ayah atau sekedar tertawa ria selepas-lepasnya.

Ingatan yang selalu membekas pada dirinya, hinga kaki melangkah ribuan kilometer. Duar, lamunanya buyar. Ia berlari mengambil pena dan kertas. Telah ia tekatkan sebulat mungkin untuk menceritakan, menuliskan. Sembari kembali mengingat senja kepahitan dan kenikmatan.

.....

SENJA PERTAMA, KUNCI KENANGAN.

Hari telah senja, yang bertanda pantai akan ramai. Oleh anak-anak, oleh remaja sampai para orang tua. Sepakan-sepakan bola mulai berbunyi beriringan dengan riuhnya teriakan oper dan gol. Berbekal dua bilah bambu yang ditanam di pasir dan bola kempis. Beberapa nelayan juga sudah mempersiapkan diri melaut, saling menyapa satu dengan yang lain dan menceritakan keheroan spot-spot yang mereka pilih.

Para ibu mulai mengebulkan dapurnya, asap-asap kayu bakar mulai nampak di cerobong rumah dengan tungku batu, belanga-belanga di letakan. Sedang para ayah asik membersikan diri setelah seharian berkutat dengan cangkul serta parang di kebun.

Goll...goll..teriak anak-anak. Sembari berselebrasi dengan loncat-loncat diatas pasir. Adanya gol tersebut membuyarkan lamunan nya. Sedari tadi dia hanya asik menyimak matahari yang mulai manja karena kuasa tuhan sambil bersandar pada sebuah pohon kelapa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun