Di depannya salah satu kawannya mulai benggong, Al kenapa diam saja, ayo giliran kita untuk menggantikan yang kalah. Sapanya sambil ancang-ancang dengan kaki telanjang tanpa baju dan hanya mengenakan celana bola merah putih bernomor 10. Dengan mengangkat dirinya sebagai ronaldo, anak ini cukup pede dalam mengolah bola. Padahal biasa saja bahkan sering di jadikan anak bawang.
Oke ..jawab Al.
Bola di sepak dan ronde yang entah ke berapa di mulai. Gol demi gol hari ini membuat tim Al menjadi raja lapangan. Mungkin jika di piala dunia, tim ini sudah akan menjuarainya.
Setelah hampir 30 menit, pertandingan usai akibat kelelahan. Satu demi satu memilih bermain perahu, berselancar memakai papan cuci para ibu mereka dan lainya asik menikmato pantai sambil rebahan.
Al memilih bercengkrama dengan kakeknya. Sejak letusan gunung pada tahun 1988 itu, Al di rawat oleh kakeknya. Bersama satu saudaranya, riska mereka berdua adalah dua cucu kesayangan kakek dan nenek mereka sekaligus dua anak belia yang di cintai di kampungnya. Ya, karena sejak letusan itu, hanya mereka berdua yang di boyong kembali pulang dan tidak ada anak kecil lainya.Â
Kek..tidak memancing hari ini? Sebentar lagi al, kakek mau memancing cumi. Kamu mau ikut? Tidak kek, aku harus mengaji kalau tidak nanti di pukuli guru ngaji. Oh ya sudah, nanti malam habis ngaji tunggu kakek pulang memancing di pantai ya..Â
Iya kakek....
Sambil bercerita, suara beduk pertanda akan masul waktu magrib. Di kampung ini, beduk merupakan tanda panggilan jika masuk waktu shalat. Biasanya, para modim atau penjaga mesjid yang memiliki giliran sebagai penajaga waktu shalat selalu stan by di mesjid. Selama seminggu tiap modim menjalankan tugas tersebut dan selalu berurutan.
Ayo mandi supaya siap-siap kita shalat. Kata kakeknya, mereka pun berlari ke pantai dan mencelubkan diri setalah kemudian harus berlari ke sumur-sumur untuk berebut urutan timba "gayung" terlebih dahulu. Di kampung ini sejak gunung meletus, hanya ada dua sumur (parigi) yang di gunakan sedangkan lainya masih tertutup abu vulkanik.
Setelah shalat, Al dan anak-anak sebaya berbondong-bondong ke rumah seorang guru ngaji. Disana guru ngaji tersebut sudah menunggu. Dibantu oleh seorang muridnya yang di beri anugerah hafalan walaupun memiliki kekurangan fisik yakni buta. Ayat demi ayay di hafalkan.
Setelah selesai isya, Al dan Riska bergegas ke rumah panggung dan mengambil obor dan kemudian berlari ke pantai untuk menunggu sang kakek yang sedang melaut. Selang sejam nampak dari kejauhan teriakan sang kakek menandakan bahwa ia telah pulang.