Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sempatkan Memberi, Walau Tidak Membeli

13 Februari 2018   05:08 Diperbarui: 13 Februari 2018   05:15 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Salah satu tanda menjadi manusia adalah menggerakan hati, memberi dan memberi".

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perihal kemiskinan merupakan persoalan yang menjadi acuan dalam arah pembangunan kebijakan. Baik bangsa yang sudah maju sampai tertinggal. Persoalan ini menjadi senjata dimanapun yang selalu mendapat perhatian serius setiap warga negara dimanapun. Tidak terkecuali Indonesia.

Sebagai negara berkembang, persoalan kemiskinan selalu melekat pada perjalanan bangsa. Dan, tahun demi tahun, pergantian demi pergantian kepala negara, kemiskinan menjadi senjata utama yang selalu mengemuka ke publik. Pemerintah di nilai gagal jika tidak mampu menekan angka kemiskinan, begitupun sebaliknya.

Kemiskinam yang identik di ukur dengan tingkat pendapatan perkapita baik versi bank dunia maupun BPS (Indonesia) selalu menjadi perdebatan. Serta, banyak rumua pendekatan yang di pakai untuk menanggulangi kemiskinan seperti pertumbuhan dan pemerataan.

Salah satu hal yang menjadi concren adalah disparitas antara kaya dan miskin. Dimana, pemerataan pendapatan harus sama antara sehingga tidak menimbulkan distorsi ketimpangan. Yakni, kepemilikan faktor produksi dan segala yang menghasilkan pendapatan harus dialokasikan secara baik. Akan tetapi, di Indonesia sendiri kondisi teoritical berbanding terbalik dengan fakta, bahwa hanya segelintor orang yang menguasai hampir 60 persen kekayaan di Indonesia dan selebihnya menjadi rebutan masayrakat kelas menengah kebawah.

Kondisi ketimpangan pendapatan dan tidak meratanya distribusi pendapatan ini lah yang mengyebabkan begitu banyak problematik kemiskinan di Indonesia. Sehingga, rakyat kecil yang berkategori seperti indikator World Bank harus bersusah payah hanya untuk mendapatkan 1 US dolar perkapita.

Sehingga, tidak jarang kita menemukan dalam kehidupan kita, baik di jalan, di emperan tokoh, di sudut kampus dan celah-celah gedung pencakar langit masih banyak orang-orang tua baik pria maupun wanita setiap harinya membanting tulang mengais rejeki. Para orang tua yang seharusnya di jamin pemerintah untuk menikmati hari tua justru bersama memikul berat nya kehidupan tanpa kenal usia maupun kesehatan.

Sepintas kita mungkin cenderung merasa iba, akan tetapi pada kondisi kota metropolitan rasa iba sering kali hanya mampir seper sekian detik seiring pandangan yang mulai beralih atau langkah kaki yang semakin menjauh. Terkadang, kepercayaan dan rasa iba tidak seiring sejalan.

Pada kondisi kepercayaan, kebanyakan masyarakat metropolitan lebih tidak percaya pada pedagang seperti mereka akibat dari gencarnya serangan media pada kalangan seperti mereka. Sedangkan, pada kondisi iba, akan berlalu hanya pada tataran mengasihani dan mempertanyakan atau sekedar menggali latar belakang keluarga tanpa sedikitpun tergerak untuk membantu baik membeli atau sekedar merogok kocek untuk memberi.

Pada posisi memberi atau membeli saya tidak memposisikan diri untuk menjustice atau menghakimi, sebab persoalan demikian kembali pada diri masing-masing. Pada posisi ini saya hanya sekedar membagi, bahwa peribahasa "untuk menjadi manusia cukup menjadi manusia" memang benar adanya. Sehingga, untuk memanusiakan manusia, maka manusia harus kembali menjadi manusia agar mau tergerak mensejatrakan manusia.

Terutama pada mereka yang tiap hari, menit, maupun detik yang kita temui setiap hari baik pada jalan yang sama, dengan orang yang sama maupun yang berbeda untuk sedikit memberi walaupun  tidak membeli karena trustnya masih gonjang ganjing.  Membiasakan "memberi" akan membantu manusia melatih hati agar tidak tertati atau keras berbagi. Sebagai langkah simpati yang mulai hilang pada tatanan kehidupan kota. sehingga yang lahir dari kurangnya memberi adalah sikap acuh pada lingkungan sosial secara luas.

Pada konteka kehidupan sehari-hari, kita sering  berpapasan dengan tukang penjual mainan jaman millenial yang masih banyak di jalanan. Yang ketika di pikirkan, pada kondisi era ini, mainan-mainan tersebut tentu tidak akan laris lagi karena bergesernya selera anak-anak jaman now sekarang dan sering lupa memikirkan tentang berapa rupiah yang di raihnya hari ini. Atau mungkin, kita sering berpapasan dengan nenek-nenek atau kakek-kakek di setiap sudut kampus yang menjajakan makananya. Duduk beralas seadanya tanpa naungan yang berada tepat di jalan lalu lalang mahasiswa. Dalam kasus ini, saya sering menemukan bahwa dengan usia renta yang tidak selayaknya beraktivitas lagi harus duduk dari pagi sampai sore tanpa jaminan daganganya laris di serbu mahasiswa. 

Justru sebaliknya, terkadang harus pulang dengan tangan hampa. Dan, tidak ada rupiah di kantong. Kepekaan mahasiswa yang lalu lalang setiap harinya selama berkuliah di kampus tersebut justru tidak menjamin keringanan tangan memberi. Bisa dikatakan jangankan membeli, memberipun belum pasti. Kondisi-kondisi seperti ini masih terjadi pada ribuan bahkan jutaan orang yang berkategori miskin di Indonesia di manapun berada. Dengan kondisi dan realita yang beragam pula.

Memberi itu memang susah, mungkin kata-kata itu tepat menggambarkan beragam keadaan yang sering kita jumpai atau alami secara sendiri, sadar maupun tanpa sadar. Kondisi yang sering kali mengekang pribadi, hati dan jiwa untuk sekedar merogok kocek teramat begitu berat untuk di lakukan. Padahal, pada kondisi hedonistik kita enteng saja. Kondisi hati yang sulit tergerak akibat ketidakbiasaan kita membagi merupakan bagian dari tidak terlatinya kehidupan pada kondisi-kondisi sosial. Banyak faktor yang bisa membentuk pribadi-pribadi manusia salah satunya adalah pola interaksi baik lingkungan keluarga maupun di luar itu.

Maka untuk itu, memberi merupakan pekerjaan mulia yang harus dilatih terus menerus tanpa harus menimbanh-nimbang. Karena dengan memberi walaupun tanpa membeli, kita bisa menyelamatkan kebutuhan jasmani mereka pada kondisi yang kita sendiri jarang mengadapinya, yaitu kelaparan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun