"Salah satu tanda menjadi manusia adalah menggerakan hati, memberi dan memberi".
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, perihal kemiskinan merupakan persoalan yang menjadi acuan dalam arah pembangunan kebijakan. Baik bangsa yang sudah maju sampai tertinggal. Persoalan ini menjadi senjata dimanapun yang selalu mendapat perhatian serius setiap warga negara dimanapun. Tidak terkecuali Indonesia.
Sebagai negara berkembang, persoalan kemiskinan selalu melekat pada perjalanan bangsa. Dan, tahun demi tahun, pergantian demi pergantian kepala negara, kemiskinan menjadi senjata utama yang selalu mengemuka ke publik. Pemerintah di nilai gagal jika tidak mampu menekan angka kemiskinan, begitupun sebaliknya.
Kemiskinam yang identik di ukur dengan tingkat pendapatan perkapita baik versi bank dunia maupun BPS (Indonesia) selalu menjadi perdebatan. Serta, banyak rumua pendekatan yang di pakai untuk menanggulangi kemiskinan seperti pertumbuhan dan pemerataan.
Salah satu hal yang menjadi concren adalah disparitas antara kaya dan miskin. Dimana, pemerataan pendapatan harus sama antara sehingga tidak menimbulkan distorsi ketimpangan. Yakni, kepemilikan faktor produksi dan segala yang menghasilkan pendapatan harus dialokasikan secara baik. Akan tetapi, di Indonesia sendiri kondisi teoritical berbanding terbalik dengan fakta, bahwa hanya segelintor orang yang menguasai hampir 60 persen kekayaan di Indonesia dan selebihnya menjadi rebutan masayrakat kelas menengah kebawah.
Kondisi ketimpangan pendapatan dan tidak meratanya distribusi pendapatan ini lah yang mengyebabkan begitu banyak problematik kemiskinan di Indonesia. Sehingga, rakyat kecil yang berkategori seperti indikator World Bank harus bersusah payah hanya untuk mendapatkan 1 US dolar perkapita.
Sehingga, tidak jarang kita menemukan dalam kehidupan kita, baik di jalan, di emperan tokoh, di sudut kampus dan celah-celah gedung pencakar langit masih banyak orang-orang tua baik pria maupun wanita setiap harinya membanting tulang mengais rejeki. Para orang tua yang seharusnya di jamin pemerintah untuk menikmati hari tua justru bersama memikul berat nya kehidupan tanpa kenal usia maupun kesehatan.
Sepintas kita mungkin cenderung merasa iba, akan tetapi pada kondisi kota metropolitan rasa iba sering kali hanya mampir seper sekian detik seiring pandangan yang mulai beralih atau langkah kaki yang semakin menjauh. Terkadang, kepercayaan dan rasa iba tidak seiring sejalan.
Pada kondisi kepercayaan, kebanyakan masyarakat metropolitan lebih tidak percaya pada pedagang seperti mereka akibat dari gencarnya serangan media pada kalangan seperti mereka. Sedangkan, pada kondisi iba, akan berlalu hanya pada tataran mengasihani dan mempertanyakan atau sekedar menggali latar belakang keluarga tanpa sedikitpun tergerak untuk membantu baik membeli atau sekedar merogok kocek untuk memberi.
Pada posisi memberi atau membeli saya tidak memposisikan diri untuk menjustice atau menghakimi, sebab persoalan demikian kembali pada diri masing-masing. Pada posisi ini saya hanya sekedar membagi, bahwa peribahasa "untuk menjadi manusia cukup menjadi manusia" memang benar adanya. Sehingga, untuk memanusiakan manusia, maka manusia harus kembali menjadi manusia agar mau tergerak mensejatrakan manusia.
Terutama pada mereka yang tiap hari, menit, maupun detik yang kita temui setiap hari baik pada jalan yang sama, dengan orang yang sama maupun yang berbeda untuk sedikit memberi walaupun  tidak membeli karena trustnya masih gonjang ganjing.  Membiasakan "memberi" akan membantu manusia melatih hati agar tidak tertati atau keras berbagi. Sebagai langkah simpati yang mulai hilang pada tatanan kehidupan kota. sehingga yang lahir dari kurangnya memberi adalah sikap acuh pada lingkungan sosial secara luas.