Pesta kembang api mewarnai langit indonesia, rakyat tumpah ria di jalanan dan pusat-pusat perayaan. Di beranda-beranda sosial penuh kecerian dan antusiaisme menggelora dari ujung tanah mutiara hitam papua sampai tanah rencong Aceh.
Letupan kembang api di ikuti oleh berbagai panjatan doa dan harapan di tahun 2018. Di rumah-rumah suci, masyarakat berdzikir memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan keberkahan dan keselamatan ummat di 2018.Â
Sedangkan, di jalanan orang-orang tertawa ria, bersama keluarga, sahabat, pacar, serta jomblowan-jomblowati yang pandai berkreasi.
Pergantian tahun memang menjadi hari "kecerian". Begitu juga bagi kami. Walaupun lebih memilih memojok di salah satu bekas tempat bisnis ritel terkenal yang berganti nama menjadi "pojok halal"di daerah Sunter, Ketimbang berdesak-desakan di pusat perayaan seperti Monas dan Bundaran HI.Â
Kesepakatan malam ini juga tanpa rencana. Selain karena kesibukan kami masing-masing. Pertemuan malam ini adalah bagian dari silaturahmi yang sudah lama terputus. Dengan alkadar seadanya, obrolan ringan dan rentu saja "bekas 2017" yakni selfie juga mnjadi keharusan, minimal di puji dikit tidak apalah.
Percakapan kami di awali dengan pembahasan arah organisasi yang sama-sama kami bina, yakni perkembangan media yang sudah sebulan terakhir di rintis. Mungkin ini adalah pertemuan lanjutan setelah kami mulai belajar dan diajar tentang dunia menulis di Kompasiana di akhir 2017 tepatnya bulan september.Â
Lewat blog inilah, gairah kami untuk menuangkan gagasan serta ide pada daerah mulai menemui arah yang jelas. Bisa dibilang, kami adalah anak didik kompasiana yang mencoba memberikan perubahan lewat tulisan untuk daerah.
Percakapan demi percakapan kami mulai, tentang rubrik dan tema serta mekanisme media kami kedepan sampai pada urusan jodoh. Nah urusan jodoh ini menjadi perdebatan panas ketika, salah satu kawan berkata, tahun 2018 dia sudah masuk kepala tiga. Alias 30 tahun, dan tanpa kami sadari umur kami semua sama-sama 30.Â
Well, pembahasan menggerikan dimulai ketika satu kawan termuda kami satu menanyakan tentang "jodoh" masing-masing. Sontak, memerah muka kami, bahkan ada yang duduk mematung setelah akhirnya berkata"what the hell, pertanyaan yang menyakitkan dan memgoyak-ngoyak hati".
Mulailah proses rasionalisasi dan teori entah datang dari mana di perdebatkan tentang perkawinan. Situasi makin alot ketika bunyi kembang api mewarnai langit jakarta dan tak ada satupun yang bergerak dari tempat duduknya bahkan sekedar mengabadikan.Â
Sampai ketika keheningan langit jakarta mulai redup, karena kembang api yang mahal itu mulai habis, perdebatan masih tetap di lanjutkan. Hingga pada akhirnya, argumen mengenai "bagaimama cara menghidupkan istri dan anak kelak menjadi kajian yang bergeser pada hal ekonomi.Â
Bahkan statmen yang lebih keras mengarah ke kami ketika "pola pikir" kami di sematkan kata-kata menjadi petani.
Maka praktis, pembahasan kami tentang petani di mulai, dan meninggalkan persoalan "jodoh", allhamdullilah. Sebagai anak-anak yang berkesempatan mengeyam pendidikan di ibu kota, dan berasal dari keluarga petani, maka perihal petani dan pertanian tidak lagi asing di telinga dan hidup.
Petani merupakan salah satu pahlawan bagi bangsa menurut saya, karena kekuatan dapur masyarakat dunia,khususnya Indonesia di tanggung jawabkan kepeda mereka.atau istilah yg sering di pakai adalah isi perut seseorang adalah tanggung jawab petani.Â
Dalam sebulan saja petani tidak bercocok tanam, maka kondisi ketahanan pangan akan terganggu yang juga akan mengoyahkan ranah politik. Kita mungkin banyak belajar pada pengalaman bangsa, ketika dua presiden cekatan harus tumbang karena ketidaksediaan pangan, yang menyebabkan harga-harga menjadi tinggi. Maka, sudah tentu petani adalah pertahanan terdepan dan benteng pertahanan sebuah bangsa.
Maka membicarakan petani, tidak akan ada habisnya. Jika terjadi kelangkaan pangan atau kinerja ekspor yang menurun, petani selalu di salahkan. Jika petani berhasil dalam mewujudkan ketersediaan pangan dan berhasil dalam wacana pembangunan ekonomi pertanian, maka bukan petani yang di eluh-eluhkan tetapi pemerintah sampai pihak yang tidak berkontribusi sama sekali.Â
Petani tetaplah petani, sampai ribuan pergantian kepemimpinan, petani tetap petani yang jauh dari kata"kesejateraan", penguasaan teknologi sampai cara bercocok tanam yang tradsional.Â
Berbagai bentuk penelitian teknis pada petani, selalu menghasilkan hasil yang seringkali mendikriminasi petani akan pengetahuan mereka.Â
Begitupun hasil yang universal, petani hanya menjafi landasan usulan kebijakan pada pemerintah walaupun tidak dilirik sama sekali. Persoalan petani tidak akan ada habisnya, dari tingkat pendidikan, petani indonesia rata-rata memiliki pendidikan rendah, sedang wacana regenaerasi petani belum mampu diatasi.Â
Ibaratnya, kita menyuruh petani untuk efeesiensi dalam melakukan usaha tani, tapi praktek dan pengetahuan efeesiensi hanya menjadi dalil yang tidak d seriusi akibat dari mengejar posisi daya saing saja.
Di tahun 2018, petani akan kembali menjadi "primadona". Layaknya komoditas ekspor semisal sawit yang akan di eluh-eluhkan. Kenapa?karena di tahun ini, adalah tahun politik.Â
Lantas bagimana hubunganya?karena petani adalah komoditas politik. Komoditas untuk meraup kekuasaan,popularitas dan suara. Maka 2018 petani bisa sejaterah. Kata sejaterah akan menjadi ingatan di setiap kehidupan petani, siapapun kandidat yang akan datang "janji politik kesateraan" akan menemani dalam aktivitas menyangkul mereka.
Sebagai basis suara, kata kesejateraan merupakan kata kampanye yang ampuh untuk meraup suara. Sudah sejak lama petani berkutat dengan kondisi ini, sebab petani tidak memiliki posisi tawar yang jelas dalam merumuskan kebijakan.Â
Hal ini tentu tidak sebanding dengan prestisiusme kesejateraan.kondisi ini berbeda dengan negara lain, semisal jepang. Di jepang para petani berposisi sebagai "price taker atau making taker" karena mereka punya perwakilan di parlemen yang benar-benar kuat. Dan hasil dari keanggotan mereka benar-benar melalui proses yang selektif.
Di Indonesia, Hal ini tidak berlaku. Karena mayoritas petani tidak memiliki perwakilan kuat dalam memperjuangkan kesejateraan petani. Padahal, pada proses selektif petani yang notabenenya pemilik suara sudah memercayakan suara mereka pada calon-calon yang mereka pilih. Maka sebagai komoditas politik, petani hanya sekedar alat politik untuk merebut kekuasaan, tidak lebih.
Maka, sebagai komoditi politik, petani tidak seharusnya di janjikan kata kesejateraan. Karena apapaun kondisinya petani tetaplah petani. Para petarung kekuasaan nantinya harus elegan dalam melakukan pendekatan politik yang baik, dan benar merealisasikan "janji politiknya" di saat terpilih nanti Bukan sebaliknya.Â
Hal ini juga berlaku pada cara-cara politik diri, dimana petani akan di cekoki visi misi para kandidat. Realita yang sering terjadi, petani selalu di benturkan karena rendahnya penguasaan pendidikan politik. Mereka akan di benturkan sesama kolega bahkan keluarga dan setelah selesai, konflik ini akan berkepanjangan. Dan harus di hadapi oleh petani sebagai basis suara, bukan dihadapi oleh calon terpilih.
Untuk itu, pada tahun politik ini. Para petarung harus benar memiliki komitmen, bukan jual diri karena suara. Janji politik harus mampu di realisasikan agar kelak petani tidak lagi di salahkan pada pencaturan politik di saat memjabat.Â
Maka letupan kembang api menjadi penanda bahwa hasil diskusi kami malam ini tidaklah sia-sia, sama seperti kebanyakan petani yang menikmati pergantian tahun di rumah-rumah dan memikirkan akan jadi apa hasil panen mereka kelak. Yang pasti politik "janji manis" harus benar-benar manis, tidak menjadi pahit bahkan tidak pernah di rakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H