Seorang guru muda, berstatus honorer berkunjung. Sembari menerima salam, kami ke pantai. Duduk diatas talud-talud proyek pemerintah sambil memandangi sunyinya pantai siang itu.
Berkisahlah tuan guru itu, semenjak jaringan Wifi hadir, anak - anak tidak lagi tertarik pada buku, tidak tertarik lagi pada ngaji bahkan tidak tertarik lagi pada pelajaran-pelajaran sekolah.
Pemuda-pemuda sebagai corong untuk mendidik generasi justru terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menjerumuskan mereka ke kebodohan.
Berkutat dengan handpone dan berselancar di media sosial menjadikan mereka lupa belajar, berkumpul di tempat WIFI hingga fajar menengok.
Sebelum tower jaringan rusak, anak-anak masih terlihat di dalam desa, tetapi semenjak tower jaringan tidak berfungsi, anak-anak, remaja dan pemuda berbondong-bondong menggunakan Wifi milik sekolah. Jarak sekolah dan kampus 3 KM Padahal Wifi itu diperuntukan untuk operasional belajar mengajar.
Berkumpul dengan komplotan-komplotan hingga fajar. Semenjak itu, berkisah lagi bahwa dia bergerak sendiri untuk menyadarkan anak-anak kembali belajar. Mengadvokasi para orang tua murid dan pemuda-pemuda kampung tentang jam malam. Namun, yang terakhir ini malah di tolak oleh pemuda - pemuda.
Sungguh malang mimpimu.wahai tuan guru, perjuangan mu menjaga mimpi anak pesisir semakin terkikis oleh amukan ombak modernisasi yang tak terbendung.
Mimpi yang kita bicarakan saat itu, mulai terkikis. Bahkan ombak sebagai saksi telah menjadi pilu, menunggu semangat anak-anak bermimpi.
Semoga niat baikmu masih terjaga wahai tuan guru.
Membangun mimpi anak-anak pesisir dan memperkenalkan dunia pada mereka. Dunia yang tidak sebatas desa, dunia yang begitu luas untuk dijelajahi. Dunia mengejar mimpi lewat sekolah dan giat belajar.
Kembalilah pada mimpi-mimpi mu wahai anak pesisir.