Kami berkesempatan menempati kamar first class, sekamar dengan sang kapten serta bendahara. Setelah menaruh tas dan ngobrol sebentar dengan kapten, kami mulai melakukan apa yang menjadi tujuan. Sambil sibuk mengukur dan melakukan pemetaan kapal, terdengar instruksi kapten kapal untuk berlayar. Mesin kapal mulai dihidupkan, tali bandara mulai dilepas. Dengan kekuatan 20 knot,kapal mulai memecah ombak. Sore itu, nampak jelas sunset yang berlahan mengganti jam kerja, diapit oleh dua tanjung. Nelayan Bacan Menamakan tanjung Gorango (hiu). Tidak puas rasanya menikmati pemandangan seperti ini, sekejap sayup-sayup angin menghantam anjungan kapal diiringi dengan nyala lampu kapal . Lantunan keras lagu " Ebit G. Ade , Berita Kepada Kawan ", berdeging kencang di telinga dan merdu meninggatkan tentang arti kehidupan. Di temani secangkir kopi buatan khusus kapten kapal, katanya " sebagai penyambutan". Sungguh sesuatu yang tidak pernah saya temukan dalam hiruk pikuk di perkotaan. Sambil menghisap erat-erat sebatang rokok filter, kami memandangi pecahan ombak sesekali melihat pemandangan yang ada di sekitar.
Selang beberapa jam, terlihat dari kejauhan perumahan-perumahan yang berjejer diatas laut dan diapit oleh dua tanjung, sehingga membentuk huruf U, jika di perhatikan dengan seksama. Kapten kapal mengatakan pada kami berdua "silahkan mengeksplor kampung ini. Karena besok dinihari kita mengambil Umpan Ikan Teri ditambak-tambak milik nelayan setempat"
Berujar kemudian sang koki kapal, masih mudah. Setelah di telusuri, dia merupakan korban putus sekolah karena sistem pendidikan yang mahal. Berasal dari salah satu daerah di Kabupaten Halmahera Barat, dan baru menjadi Koki selama setahun. Keinginannya untuk sekolah masih menjadi cita-cita tertinggi, selain dari menerima fakta bahwa menjadi nelayan belum mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
Tak lama, terdengar dari anjungan kapal kami telah sampai di tambak ikan milik peternak ikan dari Pulau Bacan dan pulau sekitar. 2 jam perjalanan tak terasa karena mendengar cerita-cerita kehidupan oleh nelayan-nelayan ini. Sang kapten kapal juga merupakan seorang pemain sepakbola provesional yang sempat mencicipi Liga Profesiol Di Indonesia dan bergabung dengan salah satu Tim keseblasan di Manado. Pada zamannya, sang kapten robert adalah gelandang yang produktif dalam menciptakan gol. Namun setelah mengalami cedera, sang kapten memutuskan untuk mengikuti pelatihan dan sekolah pelayaran sehingga memegang lisensi seorang kapten.
Masih bermain dengan angan-angan kehidupan para nelayan ini, terdengar suara gaduh dari anjungan kapal. Ternayata, kapal telah merapatkan badannya ke tambak dan mulai melakukan transaksi pembelian umpan hidup ikan teri. Teman saya juga mulai sibuk dengan data-data penelitiannya. Berbekal kouesioner yang dipegang dimulai menghitung setiap ember yang dimasukan ke palka umpan. Satu ember besar  umpan ikan teri di beli dengan harga Rp. 50.000. Subuh itu, total umpan yang dibeli adalah 100 ember.
Di dalam perjalanan, mata di suguhkan dengan pemandangan bekas-bekas rumah yang terbengkalai, sebuah peristiwa berdarah tahun 1999-2000. Pertikan SARA yang terjadi saat itu selain menelan korban jiwa di kedua bela pihak, juga ditinggalkannya harta benda yang saat ini tidak lagu di huni.