Tulisan ini, berawal dari ajakan seorang teman yang terjepit diantara dua alasan. Pertama, dikejar kejar dosen pembimbing (senior abadi). Kedua, saya adalah opsi terakhir untuk di ajak naik kapal nelayan dan bertarung dengan ombak. penelitian yang dia lakukan telah menarik minat saya untuk ikut maka, Sebagai pemancing amatiran. saya tidak mampu menolak ajakan ini. Kesempatan memancing hand and line cakalang tuna belum pernah coba.  selain dari itu, pengalaman ini bisa menjadi cerita ke pemancing-pemancing lain.
 Perjalanan kami mulai dari pelabuhan Bastiong, Kota Ternate pada pukul 20:00 WIT. Menumpangi kapal Bunda Maria kami bertolak menuju pelabuhan Babang, Bacan. Kab. Halmahera Selatan Prov. Maluku Utara. Â
Kapal mulai melaju, menembus dinginnya malam dan lautan yang kian bersahabat. Di temani oleh indahnya nyanyian ombak terpecah oleh belahan anjungan kapal serta kilauan bintang yang menjadi petanda navigasi oleh kapten. Tepat pukul 04 : 00 WIT, kami berlabuh di pelabuhan Labuha Bacan. Mungkin untuk pecinta batu akik, sudah tidak asing dengan nama ini. setelah mengisi perut sejenak dikantin dekat pelabuhan. Kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot ke bascamp dengan budget Rp. 10.000 per orang.
Hari pertama perjalanan di awali dari kelurahan Taman Sari, maksud kedatangan kami adalah menemui tuan-tuan kapal untuk mengorek informasi dan sekaligus meminta izin. Sambutan hangat kami dapat oleh ketua kelompok nelayan sekaligus pemilik salah satu kapal yang akan kami tumpangi. Pak Sarifudin namannya,setelah dizinkan masuk pada rumah berukuran sedang. Pak Sarifudin memulai obrolan dengan menanyakan siapa dan maksudtujan kami bertamu. Setelah teman saya menjelaskan tentang kedatangannya sebagai peneliti dan memberikan surat izin dari Universitas, maka sang pemilik kapal dengan sangat welcome dan antusias memberikan izin. Katanya " jarang-jarang ada mahasiswa yang meneliti langsung dengan ikut proses penangkapan biasanya hanya siswa pelayaran, semoga kalian bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang sudah kalian siapkan maupun yang akan kalian temukan nanti".
Sambil menikmati segelas kopi, obrolan ringan di mulai dengan pertanyaan berapa besar sistem pembagian antara pemilik kapal dengan kapten kapal. Perlu di ketahui bahwa, pemilik kapal tidak selalu terjun ke laut karena sudah di wakili oleh kapten kapal dan anak buah kapal. Biasanya, kapten kapal bertanggung jawab penuh terhadap operasional, sedangkan, pemilik kapal memiliki orang kepercayaan yang berada di kapal,yaitu bendahara kapal.Â
Kata Sarifudin " pembagian upah antara pemilik dengan ABK sebesar 40:60. Artinya, 40 % untuk pemilik kapal atau yang tergabung dalam kelompok nelayan. Dan, 60 % untuk kapten kapal dan ABK. Bisa juga 50:50, tergantung kesepakatan awal dengan kapten kapal. Diskusi kian menarik, manakala pertanyaan saja menjurus pada kebijakan pemerintah dalam mendukung kelompok nelayan seperti pemberian alat tangkap pendukung : GPS, kapal dan dana pengembangan. Menurut penuturannya, sejauh ini bantuan pemerintah sering kurang tepat sasaran, ada kelompok nelayan yang sebenarnya belum layak menerima bantuan tetapi karena memiliki kenalan, maka sering mendapat bantuan.
Diskusi panjang itu terasa singkat,dan kami berpamitan  karena kumandan adzan magrib dan berjanji akan kembali lagi jika masih membutuhkan data.
Keesokan harinya, pukul 15 :00 WIT, dengan bermodal surat izin penelitian kami bergerak menuju Desa Panamboang. Sebelum itu kami sudah terlebih dahulu meminta izin di Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Halmahera Selatan. Desa ini merupakan pusat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di pulau Bacan, Dan terbesar di Maluku Utara. Â Desa ini terletak agak jauh dari Ibu Kota Kabupaten, Labuha. Kami menempuh perjalanan dengan menggunakan mobil bak terbuka milik dibo-dibo (tengkulak) hampir sejam perjalanan dengan disuguhi perbincangan hangat dengan ibu-ibu (dibo-dibo atau tengkulak) kami sedikit mengorek informasi bahwa sekarang musim paceklik, yang artinya stok ikan sedikit. Sehingga harga ikan menjadi mahal. Belum lagi jika perusahaan ikan membeli semua hasil tangkapan nelayan. Perkiraan saya, adalah, adanya konflik diantara 3 pelaku ekonomi ini.
Kapal pertama yang kami tumpangi adalah kapal INKA MINA 282 . Â Kapal bantuan pemerintah ini menjadi petualangan ilmiah kami yang pertama, dengan fasilitas yang agak baik kami masih sempat berpikir yang tidak-tidak . Presepsi saya pertama saya adalah, apakah kami akan aman dengan kapal ini? Pemikiran kawan saya lebih extrem lagi (maklum sebagai peneliti sebenarnya dia agak penakut), jika nanti tenggelam saya satu-satunya harapan kehidupan dia. Gila juga ni teman, dipikirnya saya pasukan penyelamat. Mengingat kondisi alam yang ganas sudah barang tentu pemikiran itu berkecamuk di benak-benak kami.
 Kapten kapal di panggil oleh kepala Pelabuhan Dan Perikanan Pantai ( PPP) Panamboang Bacan. Terlihat dari jauh seorang pria muda, berjalan tegas, berbadan tegar, berkumis tipis berkulit sawo matang, mendatangi kami. Berdiri tepat disamping kami dengan melemparkan senyum hangat tanda sambutan. Sembari mengurus surat izin berlayar  bagi kapalnya, kami berkenalan singkat. Sesaat kemudian, Kapten berbisik pelan kepada kami " Jam 17: 00 Wib kita berangkat dengan durasi trip 2 hari satu malam.
Kami berkesempatan menempati kamar first class, sekamar dengan sang kapten serta bendahara. Setelah menaruh tas dan ngobrol sebentar dengan kapten, kami mulai melakukan apa yang menjadi tujuan. Sambil sibuk mengukur dan melakukan pemetaan kapal, terdengar instruksi kapten kapal untuk berlayar. Mesin kapal mulai dihidupkan, tali bandara mulai dilepas. Dengan kekuatan 20 knot,kapal mulai memecah ombak. Sore itu, nampak jelas sunset yang berlahan mengganti jam kerja, diapit oleh dua tanjung. Nelayan Bacan Menamakan tanjung Gorango (hiu). Tidak puas rasanya menikmati pemandangan seperti ini, sekejap sayup-sayup angin menghantam anjungan kapal diiringi dengan nyala lampu kapal . Lantunan keras lagu " Ebit G. Ade , Berita Kepada Kawan ", berdeging kencang di telinga dan merdu meninggatkan tentang arti kehidupan. Di temani secangkir kopi buatan khusus kapten kapal, katanya " sebagai penyambutan". Sungguh sesuatu yang tidak pernah saya temukan dalam hiruk pikuk di perkotaan. Sambil menghisap erat-erat sebatang rokok filter, kami memandangi pecahan ombak sesekali melihat pemandangan yang ada di sekitar.
Selang beberapa jam, terlihat dari kejauhan perumahan-perumahan yang berjejer diatas laut dan diapit oleh dua tanjung, sehingga membentuk huruf U, jika di perhatikan dengan seksama. Kapten kapal mengatakan pada kami berdua "silahkan mengeksplor kampung ini. Karena besok dinihari kita mengambil Umpan Ikan Teri ditambak-tambak milik nelayan setempat"
Berujar kemudian sang koki kapal, masih mudah. Setelah di telusuri, dia merupakan korban putus sekolah karena sistem pendidikan yang mahal. Berasal dari salah satu daerah di Kabupaten Halmahera Barat, dan baru menjadi Koki selama setahun. Keinginannya untuk sekolah masih menjadi cita-cita tertinggi, selain dari menerima fakta bahwa menjadi nelayan belum mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
Tak lama, terdengar dari anjungan kapal kami telah sampai di tambak ikan milik peternak ikan dari Pulau Bacan dan pulau sekitar. 2 jam perjalanan tak terasa karena mendengar cerita-cerita kehidupan oleh nelayan-nelayan ini. Sang kapten kapal juga merupakan seorang pemain sepakbola provesional yang sempat mencicipi Liga Profesiol Di Indonesia dan bergabung dengan salah satu Tim keseblasan di Manado. Pada zamannya, sang kapten robert adalah gelandang yang produktif dalam menciptakan gol. Namun setelah mengalami cedera, sang kapten memutuskan untuk mengikuti pelatihan dan sekolah pelayaran sehingga memegang lisensi seorang kapten.
Masih bermain dengan angan-angan kehidupan para nelayan ini, terdengar suara gaduh dari anjungan kapal. Ternayata, kapal telah merapatkan badannya ke tambak dan mulai melakukan transaksi pembelian umpan hidup ikan teri. Teman saya juga mulai sibuk dengan data-data penelitiannya. Berbekal kouesioner yang dipegang dimulai menghitung setiap ember yang dimasukan ke palka umpan. Satu ember besar  umpan ikan teri di beli dengan harga Rp. 50.000. Subuh itu, total umpan yang dibeli adalah 100 ember.
Di dalam perjalanan, mata di suguhkan dengan pemandangan bekas-bekas rumah yang terbengkalai, sebuah peristiwa berdarah tahun 1999-2000. Pertikan SARA yang terjadi saat itu selain menelan korban jiwa di kedua bela pihak, juga ditinggalkannya harta benda yang saat ini tidak lagu di huni.
Perburuan di mulai setelah Saihu atau pawang mulai melihat dari kejauhan segerombolan ikan bermain-main di permukaan. Dengan sigap, para pemancing-pemancing berlari mengambil tempat sesuai dengan keahliannya. Pemancing yang duduk di anjungan depan hanyalah pemancing yang sudah ahli sedangkan pemancing yang mengapit dari sebelah kiri dan kanan adalah kelas menengah dan yang berada di ujung adalah pemula. Saya nanti berkesempatan duduk di kelas pemula.
Sang kapten menaikan kekuatan kapal, mengejar segerombolan ikan tadi. Sedangkan sang boy (pelempar umpan) dan asistennya mulai menyiapkan umpan hidup yang di beli di tambak tadi subuh. Mesin alkon, di nyalakan untuk memancing ikan - ikan mendekat sembari sang boy melempar umpan hidup. Dalam 5 menit ikan - ikan beterbangan menciptakan suara keras pada lantai kapal. Ya, ikan terkait. Selama hampir dua jam pertarungan masih berlangsung. Dalam sehari nelayan bisa melakukan kegiatan seperti itu sebanyak 4-5 kali apalagi jika target belum dicapai.
Sedangkan nelayan yang lain masih berkutat tanpa lelah. Lelah yang saya rasakan ternyata biasa bagi mereka. Karena menurut mereka" tidak ada kata lelah menggais rejeki". Perjalanan hari pertama itu di akhiri sore hari, ikan -ikan dimasukan ke palka. Hari ini 2 ton hasil nelayan. Pasaran hari pertama di lakukan di kampung bajo, dan hari kedua di lakukan di TPI panamboang.
Perjalanan memakan waktu 4 jam, karena wilayah mancing kami yang mendekati garis pantai Negara Filipina. Setelah makan bersama dengan kapten dan ABK, saya kali ini berkesempatan mengorek informasi yang masih membekas di  ingatan. Tentang sistem pembayaran dan penjualan oleh nelayan. Menurut mereka pembagian hasil yang dilakukan oleh pemilik dan ABK dibagi dalam beberapa persen seperti yang di singgung di awal. 40 % pemilik kapal dan 60 % Abk. Dalam 60 %, dibagi dalam beberapa persen: untuk kapten mendapat bagian 20 persen, untuk bendahara 15 persen, untuk masinis 15 persen dan pemancing 10 %. Sistem pembagian 60% ini setelah di buka dengan kebutuhan logistik dan kegiatan operasional selama sebulan dan dapat diterima saat itu juga dengan sistem kredit atau menunggu akhir bulan. Sehingga, kadangkala pemancing untuk bisa mendapatkan pundi-pundi Rupiah sekedar uang rokok. Terpaksa menjual tangkapan ikan  di luar jenis cakalang dan tuna yang di pancing saat kapal sedang berlabuh di tambak atau di pelabuhan.
Setelah penjualan malam pertama di bajo, kami masih melakukan satu kali trip lagi dan langsung di pasarkan ke TPI Panamboang, artinya kebersamaan serta kekeluargaan yang dibangun diatas Kapal INKA MINA ini harus di akhiri. Perjalanan yang berakhir ini di hargai dengan saling memberi kesan dan kesan serta memanjatkan doa. Tak lupa kami di beri sekatong ikan cakalang yang segar untuk dibawa pulang. Walaupun perjalan ini belum berakhir bagi kami berdua, namun bagi kapal INKA MINA dan nelayan -- nelayan tangguh yang masih jauh dari kata sejaterah telah memberikan kami kehidupan yang berbeda, harus di akhiri..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H