Mohon tunggu...
Ogidzatul Azis Sueb
Ogidzatul Azis Sueb Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Every expert started from a beginner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu Tua di Lapangan Kenangan

3 Oktober 2024   09:38 Diperbarui: 3 Oktober 2024   15:36 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah pagi yang basah, Raka menatap sepasang sepatu tua yang bersandar di sudut kamar, seakan menunggu panggilan perang yang tak akan pernah datang lagi. Sepatu itu sudah usang, dengan warna pudar dan tali yang seringkali lepas saat ia berlari di lapangan. Tapi bukan sepatu itu yang Raka ingat, melainkan cerita dibalik sepatu itu yang  ia simpan, bahkan lebih tua dari sepatu itu sendiri.

Dulu, di hari-hari sekolah yang panjang, Raka dan Bayu selalu bersama. Mereka tak pernah terpisahkan, bagaikan dua kutub magnet yang berbeda namun tak bisa saling berjauhan. Di bawah langit yang kadang cerah, kadang hujan, mereka selalu berlari bersama. Menang dan kalah di lapangan, tak jadi soal. Asal mereka berdua, semuanya terasa sempurna.

"Sepatu lo kayak dinosaurus, Rak!" Ucap Bayu sembari tertawa.

Sementara Raka hanya melirik sepatu tua yang sudah melewati ribuan cerita---terjatuh, bangkit, dan tertawa lagi.

"Iya, tapi sepatu ini yang bikin gue selalu bisa nyusul lo di lapangan," jawab Raka, setengah bercanda.

Setiap hari, suara sepatu mereka menjejak aspal seolah-olah menciptakan simfoni masa muda yang tak akan pernah mereka dengar lagi. Di hari-hari itu, mereka tak memikirkan apa pun kecuali hari esok yang selalu terlihat panjang. Mereka tak pernah sadar, waktu juga berlari. Diam-diam, waktu mencuri momen-momen kecil mereka: tawa, adu lari, hingga janji-janji yang pernah terucap saat matahari terbenam.

"Besok, kita bakal tetap di sini, kan?" Raka pernah bertanya di satu sore yang sunyi.

Bayu pun, dengan senyum lebar yang meyakinkan, menjawab, "Selamanya!".

Namun, selamanya tak pernah seindah yang dibayangkan. Kini, di kamar yang sepi, hanya sepatu tua itu yang tersisa. Bayu pergi. Bukan dengan perpisahan yang megah atau air mata yang deras, tetapi dengan sunyi yang begitu menusuk. Dunia mereka yang dulu terasa tak terpisahkan, kini seperti pasir di tangan---pelan-pelan hilang, terbawa angin tanpa disadari.

Raka tersenyum pahit. "Selamanya?" gumamnya, seolah ingin menantang janji yang pernah mereka buat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun