Polemik mengenai Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 belum benar-benar mencapai klimaks dan masih menjadi isu utama di tengah masyarakat meskipun sedikit samar terdengar. Padahal publik seharusnya jangan terlena, instrumen hukum tersebut tidak akan berarti apa-apa kalau tubuh KPK sendiri bermasalah.
Isu tentang adanya masalah dan konflik kepentingan (conflict of interest) dalam tubuh KPK ini kembali menjadi menarik untuk dilihat, apalagi sejak viralnya video wawancara yang dilakukan oleh Selebriti Deddy Corbuzier bersama mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang diunggah di kanal youtube pribadinya yang berjudul “Siti Fadilah, sebuah konspirasi-Saya dikorbankan”.
pesan terabaikan
Ada yang menarik dari video tersebut dimana masyarakat seolah gagal fokus terhadap pernyataan Siti Fadilah yang mengatakan bahwa ia tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Ia bersikeras bahwa dakwaan dari KPK dan vonis yang diterimanya dirangkai tanpa fakta dan sangat dipaksakan.
Sebagai informasi, Siti ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada tahun 2014 dengan indikasi telah menyalahgunakan wewenangnya selaku Menteri Kesehatan RI dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan (alkes) guna mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 2005, pada Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) Departemen Kesehatan RI.
Ia didakwa menerima suap sebesar Rp 1.875 miliar oleh jaksa penutut umum KPK. Dan setelah melalui proses pengadilan yang terbuka dan fair, ia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi tersebut sehingga dijatuhi vonis pidana 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada tahun 2017.
Di dalam video tadi, mantan Menkes tersebut juga menyebutkan bahwa lembaga hukum di Indonesia belumlah independen. Hal tersebut bisa saja diterjemahkan bahwa dia menggangap KPK (KPK sebelum revisi UU KPK) sebagai salah satu lembaga hukum yang bermasalah.
Terlepas dari pernyataan mantan Menkes tersebut, isu yang selama ini mengatakan bahwa adanya masalah dan konflik kepentingan dalam internal KPK ialah pesan yang tidak boleh untuk diabaikan sepenuhnya dan masyarakat seharusnya meletakkan perhatian yang besar terhadap hal tersebut.
Hal ini akan sangat berbahaya kalau dibiarkan karena dapat menyebabkan KPK menjadi lembaga yang tidak lagi benar-benar sakral, bersih, dan netral.
Namun sayang, fokus masyarakat hanya terletak pada bagaimana Undang-Undang KPK itu seharusnya dirumuskan. Padahal, dampak yang ditimbulkan dari masalah dan konflik kepentingan di dalam tubuh KPK ini akan sangat potensial untuk mengacaukan upaya pemberantasan korupsi.
“Pembenahan internal KPK” seharusnya juga menjadi kosakata publik. Karena hal tersebut merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
KPK tidak akan punya daya, kalau ada oknum di dalam KPK yang bisa menjadikan KPK sebagai ‘alat” yang dapat mencegah agenda pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif, sehingga hulu dari tindak korupsi menjadi semakin sulit untuk dijangkau.
Agenda pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan siapapun tentu akan selamanya menjadi agenda jika masalah ini tidak diselesaikan. Bahkan, Undang-Undang KPK yang elok sekalipun tidak akan bisa menjawab pertanyaan mengapa perilaku koruptif ini terus berulang.
Selama ini masyarakat hanya fokus kepada penindakan dengan melihat seberapa banyak jumlah koruptor yang ditangkap. Masyarakat lupa bahwa perhatian seharusnya terletak pada tujuan besarnya yaitu pencegahan perilaku koruptif. Apalagi, kalau kita lihat kasus-kasus korupsi yang dianggap sebagai keberhasilan KPK, ternyata hanyalah didominasi oleh kasus korupsi berskala kecil (petty corruption). Artinya, KPK tidak terlalu produktif, terseok-seok dan perlu untuk dikoreksi.
KPK harus berani untuk menjadi lembaga yang benar-benar antikompromi, akuntabel dan transparan dalam upaya pemberantasan korupsi yang masih sangat massif terjadi di Indonesia. Dan untuk mencapai visi tersebut, KPK sudah pada jalur yang benar agar “diawasi” oleh Dewan Pengawas (Dewas KPK).
Kehadiran Dewan Pengawas bagi KPK hari ini ialah satu kebutuhan yang sangat relevan untuk dapat mencegah segala bentuk dan potensi penyalahgunaan kewenangan yang dapat dilakukan oleh oknum yang berada di dalam KPK.
mencegah malpraktik KPK
KPK tidak boleh dianggap sebagai lembaga yang paling suci, karena masalah internal ini tentunya akan menjadi penyakit yang bisa menyerang KPK pada setiap sendi. Dengan kata lain, pencegahan korupsi tersebut haruslah pertama-tama dimulai dari dalam KPK itu sendiri. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa akan selalu ada potensi perbuatan illegal dari pihak yang memiliki “kedekatan” dengan tindak pidana korupsi.
Idealisme KPK ini perlu untuk ditata dari akar terdalam karena kejahatan korupsi lahir dari kecenderungan absolutisasi pada dimensi kekuasaan atau kewenangan. Jangan sampai, kekuasaan atau kewenangan tersebut dimanipulasi untuk mengontrol upaya pemberantasan korupsi kearah yang salah.
Realitas tersebut tampaknya sejalan dengan adagium yang diungkapkan oleh Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula).
Kewenangan yang begitu besar yang dimiliki oleh KPK ini kapanpun bisa saja disalahgunakan. Sehingga secara institusional, KPK perlu “didesain” kembali dengan menempatkan Dewan Pengawas, tujuannya ialah untuk mengontrol kewenangan yang diberikan kepada KPK tadi. Karena sekali lagi, ketika kewenangan atau kekuasaan tak lagi mendapatkan pengawasan maka sangat potensial untuk disalahgunakan.
Kasus-kasus raksasa (grand corruption) yang selama ini sukar disentuh seperti kasus BLBI dan Skandal Century misalnya, seharusnya menjadi kritik sekaligus membangunkan kesadaran publik bahwa KPK perlu untuk dikendalikan dengan jauh lebih baik agar maksud dan tujuan filosofis didirikannya lembaga ini benar-benar bisa tercapai.
Dengan demikian, transformasi KPK dengan kehadiran Dewan Pengawas hari ini menjadi langkah yang sangat penting sebagai trigger mechanism untuk dapat memperbaiki dan memperkuat kinerja KPK, sekaligus mencegah terjadinya malpraktik di dalam tubuh KPK.
Sehingga, KPK akan menjadi lembaga anti rasuah yang benar-benar bersih, independen dan dapat menjalankan tugas konstitusionalnya lepas dari segala bentuk kepentingan selain dari kepentingan pemberantasan korupsi itu sendiri.
“Tidak semua orang bisa dibayar, tetapi tidak semua orang juga bersih”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H