“Pembenahan internal KPK” seharusnya juga menjadi kosakata publik. Karena hal tersebut merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
KPK tidak akan punya daya, kalau ada oknum di dalam KPK yang bisa menjadikan KPK sebagai ‘alat” yang dapat mencegah agenda pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif, sehingga hulu dari tindak korupsi menjadi semakin sulit untuk dijangkau.
Agenda pemberantasan korupsi di bawah pemerintahan siapapun tentu akan selamanya menjadi agenda jika masalah ini tidak diselesaikan. Bahkan, Undang-Undang KPK yang elok sekalipun tidak akan bisa menjawab pertanyaan mengapa perilaku koruptif ini terus berulang.
Selama ini masyarakat hanya fokus kepada penindakan dengan melihat seberapa banyak jumlah koruptor yang ditangkap. Masyarakat lupa bahwa perhatian seharusnya terletak pada tujuan besarnya yaitu pencegahan perilaku koruptif. Apalagi, kalau kita lihat kasus-kasus korupsi yang dianggap sebagai keberhasilan KPK, ternyata hanyalah didominasi oleh kasus korupsi berskala kecil (petty corruption). Artinya, KPK tidak terlalu produktif, terseok-seok dan perlu untuk dikoreksi.
KPK harus berani untuk menjadi lembaga yang benar-benar antikompromi, akuntabel dan transparan dalam upaya pemberantasan korupsi yang masih sangat massif terjadi di Indonesia. Dan untuk mencapai visi tersebut, KPK sudah pada jalur yang benar agar “diawasi” oleh Dewan Pengawas (Dewas KPK).
Kehadiran Dewan Pengawas bagi KPK hari ini ialah satu kebutuhan yang sangat relevan untuk dapat mencegah segala bentuk dan potensi penyalahgunaan kewenangan yang dapat dilakukan oleh oknum yang berada di dalam KPK.
mencegah malpraktik KPK
KPK tidak boleh dianggap sebagai lembaga yang paling suci, karena masalah internal ini tentunya akan menjadi penyakit yang bisa menyerang KPK pada setiap sendi. Dengan kata lain, pencegahan korupsi tersebut haruslah pertama-tama dimulai dari dalam KPK itu sendiri. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa akan selalu ada potensi perbuatan illegal dari pihak yang memiliki “kedekatan” dengan tindak pidana korupsi.
Idealisme KPK ini perlu untuk ditata dari akar terdalam karena kejahatan korupsi lahir dari kecenderungan absolutisasi pada dimensi kekuasaan atau kewenangan. Jangan sampai, kekuasaan atau kewenangan tersebut dimanipulasi untuk mengontrol upaya pemberantasan korupsi kearah yang salah.
Realitas tersebut tampaknya sejalan dengan adagium yang diungkapkan oleh Lord Acton bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula).
Kewenangan yang begitu besar yang dimiliki oleh KPK ini kapanpun bisa saja disalahgunakan. Sehingga secara institusional, KPK perlu “didesain” kembali dengan menempatkan Dewan Pengawas, tujuannya ialah untuk mengontrol kewenangan yang diberikan kepada KPK tadi. Karena sekali lagi, ketika kewenangan atau kekuasaan tak lagi mendapatkan pengawasan maka sangat potensial untuk disalahgunakan.