Mohon tunggu...
Yoga Pratama Tarigan
Yoga Pratama Tarigan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - calon imam diosesan medan

calon sarjana Filsafat, suka berpikir, berimajinasi, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dahsyatnya Sebuah Kata

15 Maret 2019   23:25 Diperbarui: 15 Maret 2019   23:51 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengaruh Bahasa dalam Kehidupan Manusia

            Louis Leahy dalam bukunya Manusia Sebuah Misteri, menguraikan bahwa salah satu keistimewaan yang tak dimiliki oleh makhluk manapun selain manusia ialah bahasa. Memang benar bahwa binatang mempunyai cara untuk saling berkomunikasi, tetapi komunikasi mereka hanya terbatas pada pemberian sinyal-sinyal dan penerimaan respons-respons langsung sedangkan manusia memiliki bahasa yang mencakup segala macam pengalaman manusia; sejarah masa lalu dan prospek-prospek bangsa manusia pada masa depan, hubungan dan pertalian manusia dengan lingkungannya serta pengungkapan totalitas yang disebut sebagai kebudayaan. 

Oleh karena itu tidak mengherankan bila ada teori yang mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab pesatnya perkembangan peradaban manusia saat ini ialah bahasa manusia itu sendiri. Melalui bahasa segala pengalaman dan pengetahuan manusia diturunkan dan dikembangkan secara turun-temurun baik dalam bahasa lisan maupun tulisan.

            Dari keistimewaan inilah, manusia disebut sebagai animal loquens; makhluk yang mampu berbicara, mampu mengungkapkan isi hati dan pikiran lewat kata serta rangkaian kata yang dapat dimengerti. Manusia mampu merumuskan persepsi dari pengalaman hidupnya, serta mengkomunikasikannya kepada orang lain lewat kisah dan ceritanya. 

Pengungkapan dan penyampaian apa yang ada dalam hati dan budi itu tidak hanya berguna bagi dirinya tapi juga perkembangan dalam hidup bersama. Kebudayaan dan cara pandang manusia saat ini dibentuk oleh para pendahulu-pendahulunya. Melalui bahasa mereka mengkonsepsikan segala sesuatu dan sekaligus menurunkannya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

            Pada permulaan zaman modern, seorang filosof Rene Descartes dalam bukunya Discours de la methode (Uraian tentang metode) berpendapat bahwa akan tetap ada satu jurang lebar yang membedakan manusia  dengan binatang-binatang yang paling maju perkembangannya serta mesin yang paling sempurna sekalipun. 

Jurang itu ialah bahasa. Menurutnya, tidak akan pernah ada suatu binatang atau sebuah robot yang akan dapat berbicara menurut kehendaknya seperti yang mampu dilakukan oleh manusia betapapun rendah daya pikirnya. Dari gagasan tersebut, dapat diketahui bahwa bahasa merupakan anugerah istimewa yang membuatnya menjadi makhluk paling istimewa dari antara segala makhluk.

Dalam Kitab Suci dikisahkan bahwa manusia menjadi sombong karena kemampuan yang dimilikinya sehingga ia ingin menyamai Tuhan dengan membuat menara Babel. Akan tetapi, cita-cita utopis itu gagal total dikarenakan Tuhan mengacaubalaukan bahasa mereka. 

 Tampak bahwa bahasa sungguh memiliki pengaruh yang luar biasa dalam peradaban hidup manusia. Bila manusia tidak memiliki bahasa maka yang terjadi ialah kekacauan (chaos). Seandainya manusia tidak memiliki bahasa, apakah peradaban manusia dapat berkembang pesat seperti sekarang ini?

Daya Kekuatan Sebuah Kata

            Bahasa dan kata merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kata merupakan unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan, yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbahasa. Di bagian awal telah diuraikan secara singkat bagaimana bahasa sungguh mempengaruhi keberlangsungan hidup manusia.

 Di bagian ini penulis akan mendalaminya secara lebih spesifik yakni, kata. Bila dicermati lebih dalam ternyata hidup manusia sungguh dipengaruhi oleh kata-kata. Misalnya, seorang ibu yang mengalami kemalangan karena anaknya tewas dibom teroris mengalami kekuatan batin ketika sanak-saudaranya memberi kata-kata penghiburan ataupun mengumandangkan kata-kata yang tersusun rapi dalam bingkai sebuah doa.

            Mark Twain mengungkapkannya dengan sangat indah ketika mengatakan, "Udara sangat dingin, sehingga jika termometer ini lebih panjang satu inci saja, kita pasti akan mati membeku." Pesan yang hedak disampaikan dalam perkataan tersebut ialah bukan udara dingin itu yang akan membuat mereka akan mati tetapi kata-kata yang diucapkannya itulah yang akan membuat mereka mati. Yang menjadi persoalan bukanlah realitas itu, tetapi kata-kata mengenai realitas itu sendiri.

            Satu kisah lain yang cukup menarik dari Athony De Mello dalam bukunya yang berjudul Awarness, mengkisahkan bagaimana kata-kata sungguh mempengaruhi reaksi seseorang. Dikatakan bahwa suatu ketika seorang guru berusaha untuk menjelaskan kepada sekelompok orang bagaimana orang-orang bereaksi terhadap kata-kata, menelan kata-kata, hidup dalam kata-kata, ketimbang dalam realitas. Salah seorang dari kelompok itu berdiri dan mengajukan protes; dia berkata, " Saya tidak setuju dengan pendapat Anda bahwa kata-kata mempunyai efek yang begitu besar terhadap diri kita." 

Guru itu berkata, "Duduklah anak haram." Muka pemuda itu menjadi pucat-pasi karena tidak terima dirinya disebut anak haram. Dengan marah ia berkata, "Anda menyebut diri Anda sebagai orang yang berpendidikan, yang sudah mengalami pencerahan, seorang guru besar, seorang yang bijaksana, tetapi seharusnya Anda malu dengan diri Anda sendiri dengan berkata demikian kepada saya." 

Kemudian guru itu berkata, "Maafkan saya, saya terbawa perasaan. Saya benar-benar mohon maaf; itu benar-benar di luar kesadaran saya, sekali lagi saya minta maaf." Pemuda itu akhirnya menjadi tenang dan kembali duduk seperti sediakala. Setelah pemuda itu duduk tenang, guru itu pun berkata dengan penuh kemenangan, "Lihat, hanya diperlukan beberapa kata untuk membangkitkan kemarahan dalam diri Anda; dan hanya diperlukan beberapa kata untuk menenangkan diri Anda, benar bukan?" Betapa kuatnya kata-kata mempengaruhi kehidupan seseorang.

            Dari dua kisah tersebut dapat dipahami bahwa kata-kata bermuka dua, yakni ada sisi baik dan sisi buruk. Ia punya daya untuk mempersatukan sekaligus menghancurkan kebersamaan. Benar yang dikatakan pepatah, "Mulutmu adalah harimaumu". Dari pepatah ini kita selalu diingatkan untuk berpikir dahulu sebelum berucap. Akan tetapi, di era post-truth yang terjadi ialah sebaliknya.

Era Post-Truth

Bre Redana (salah seorang wartawan senior di harian Kompas) mengatakan bahwa media online bersifat paradox di era post-truth. Unggul pada kecepatan, namun cenderung abai pada akurasi dan keberimbangan. Informasi bisa didapat dalam sekejap namun miskin kedalaman dan perspekstif. Pun, rentan dimanipulasi menjadi kabar bohong (hoax).

Pada tahun 2016, Kamus Oxford menjadikan kata "post-truth" sebagai Word of the Year. Kamus Oxford mendefinisikan post-truth sebagai situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif. 

Dengan kata lain, perasaan dan keyakinan personal yang ditonjolkan dalam membentuk suatu opini sehingga tidak mengherankan bila di media sosial berseliweran ujaran-ujaran kebencian, hasutan, dan propaganda yang memecah kesatuan. Dalam situasi tersebut, informasi-informasi hoax punya pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta sebenarnya.

Bre Redana melukiskan bagaimana perjuangan yang harus dilewati oleh para jurnalis terdahulu. Mereka harus berada di jantung peristiwa-bukan hanya bermodal telepon genggam atau media sosial untuk menghubungi narasumber seperti saat ini. Prosesnya memang panjang dan kurang praktis dibandingkan dengan perkembangan baru seperti ditawarkan teknologi digital saat ini; kejadian yang terdengar bisa langsung disebar-luaskan seketika itu juga. Namun hal itu menghasilkan kedalaman dan cakrawala yang lebih luas. Pada masanya, orang pikir dulu baru sebarkan, tetapi sekarang orang sebarkan dulu pikir belakangan.

Bijak Dalam Bertutur Kata

            Salah satu bahan perbincangan hangat dewasa ini ialah begitu mudahnya kaum muda terprovokasi akan informasi-informasi yang kebenarannya masih diragukan. Akibatnya, mereka dengan mudahnya memberi opini dan komentar yang sifatnya kasar, bahkan sampai mencacimaki, memfitnah, men-judge, dan seterusnya. Maka tidak mengherankan bila era ini disebut era post-truth. Era post-truth dapat dilukiskan dalam satu kalimat, yakni, "Manusia adalah ukuran dari segala kebenaran"

Dalam pandangan Grayling, era post-truth bukan saja penuh aroma narsistik, tapi sekaligus narsistik yang mengerikan. Setiap orang dapat menerbitkan opininya, setiap orang menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta, dan---yang paling repot---setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Opini inilah yang diangkat sebagai 'kebenaran', bukan faktanya.

 Bila masyarakat berdiri di atas fakta-fakta yang dimanipulasi, dipoles, disembunyikan, dilepaskan dari konteksnya, dan kemudian pendapat individu atau kelompok lebih ditonjolkan sebagai kebenaran niscaya yang terjadi ialah perpecahan, lebih parahnya lagi ialah perang satu sama lain. Kesadaran ini telah dimiliki oleh kaum penjajah terdahulu. Mereka menyebutnya sebagai devide et impera. Ini adalah sebuah strategi yang digunakan oleh pemerintah penjajahan Belanda untuk kepentingan politik, militer dan ekonomi.

            Devide et impera merupakan politik adu domba yang dilaksanakan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar mudah ditaklukan. Politik ini dibawa oleh Belanda dari awal kedatangannya ke wilayah Nusantara. Politik ini juga diterapkan untuk mencegah kelompok-kelompok kecil bersatu yang akhirnya menjadi besar dan kuat karena hal tersebut dapat mengancam daerah kekausaan Belanda.

Sejak awal-mula bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen; masyarakat Indonesia memiliki latar belakang suku, ras, agama, dan budaya yang beragam. Keberagaman inilah yang memudahkan Belanda dalam melaksanakan politik adu dombanya dalam memecah belah bangsa Indonesia. Sejarah tersebut akan terulang kembali jika bangsa Indonesia mau tidak belajar daripadanya. Manusia dewasa ini dituntut agar tetap kritis terhadap pelbagai informasi yang ada dan tetap berpikir jernih serta bijak dalam bertutur kata agar perdamain tetap terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun