Mohon tunggu...
Yoga Pratama Tarigan
Yoga Pratama Tarigan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - calon imam diosesan medan

calon sarjana Filsafat, suka berpikir, berimajinasi, dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dahsyatnya Sebuah Kata

15 Maret 2019   23:25 Diperbarui: 15 Maret 2019   23:51 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bijak Dalam Bertutur Kata

            Salah satu bahan perbincangan hangat dewasa ini ialah begitu mudahnya kaum muda terprovokasi akan informasi-informasi yang kebenarannya masih diragukan. Akibatnya, mereka dengan mudahnya memberi opini dan komentar yang sifatnya kasar, bahkan sampai mencacimaki, memfitnah, men-judge, dan seterusnya. Maka tidak mengherankan bila era ini disebut era post-truth. Era post-truth dapat dilukiskan dalam satu kalimat, yakni, "Manusia adalah ukuran dari segala kebenaran"

Dalam pandangan Grayling, era post-truth bukan saja penuh aroma narsistik, tapi sekaligus narsistik yang mengerikan. Setiap orang dapat menerbitkan opininya, setiap orang menawarkan tafsirnya sendiri terhadap fakta, dan---yang paling repot---setiap orang mengklaim bahwa tafsirnya yang paling benar. Opini inilah yang diangkat sebagai 'kebenaran', bukan faktanya.

 Bila masyarakat berdiri di atas fakta-fakta yang dimanipulasi, dipoles, disembunyikan, dilepaskan dari konteksnya, dan kemudian pendapat individu atau kelompok lebih ditonjolkan sebagai kebenaran niscaya yang terjadi ialah perpecahan, lebih parahnya lagi ialah perang satu sama lain. Kesadaran ini telah dimiliki oleh kaum penjajah terdahulu. Mereka menyebutnya sebagai devide et impera. Ini adalah sebuah strategi yang digunakan oleh pemerintah penjajahan Belanda untuk kepentingan politik, militer dan ekonomi.

            Devide et impera merupakan politik adu domba yang dilaksanakan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar mudah ditaklukan. Politik ini dibawa oleh Belanda dari awal kedatangannya ke wilayah Nusantara. Politik ini juga diterapkan untuk mencegah kelompok-kelompok kecil bersatu yang akhirnya menjadi besar dan kuat karena hal tersebut dapat mengancam daerah kekausaan Belanda.

Sejak awal-mula bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen; masyarakat Indonesia memiliki latar belakang suku, ras, agama, dan budaya yang beragam. Keberagaman inilah yang memudahkan Belanda dalam melaksanakan politik adu dombanya dalam memecah belah bangsa Indonesia. Sejarah tersebut akan terulang kembali jika bangsa Indonesia mau tidak belajar daripadanya. Manusia dewasa ini dituntut agar tetap kritis terhadap pelbagai informasi yang ada dan tetap berpikir jernih serta bijak dalam bertutur kata agar perdamain tetap terjaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun