"Orang yang dulu pernah kukagumi kini hanya menjadi sebuah bundelan kenangan"
Hari ini tepat hari ulang tahun kematianmu yang ketiga puluh tahun. Ya... waktu yang cukup cepat bagi orang yang berbuat banyak dan waktu yang cukup lama bagi orang yang menganggur. Tergantung sudut pandang yang memandang. Dan bagiku, kau baru mati kemarin senja. Senja hari di mana kau hanya diam menikmati kesunyian dan menertawakan orang-orang kampung yang masih kampungan ini. Dan setelah tawamu reda nafasmu pun ikut-ikutan mereda.
Kau mati dalam tawamu yang sebenarnya kamuflase dari frustrasimu akan cara pikir warga kampung ini yang masih dalam taraf kampungan. Pengabdianmu dan integritasmu ternyata tak cukup untuk mengubah masyarakat kampungan ini menjadi masyarakat modern. Mimpimu untuk memajukan kehidupan masyarakat ini hanya sebuah utopis belaka. Sebelum meninggal kau mengatakan beberapa patah kata yang masih terngiang jelas dalam telingaku, "Jhon, sepertinya aku terlalu cepat dilahirkan ke muka bumi ini. Mereka belum siap akan ide-ide brilliant yang kumiliki."
***
Masih terekam jelas dalam memoriku dan mungkin memori seluruh masyarakat kampung ini yakni; sebelum kau menjadi kepala desa, tempat ini hanya sebuah kumpulan manusia yang hidup sekadar hidup apa adanya. Tak ada perkembangan dan perubahan apalagi kemajuan. Semua masih bersifat kampungan, mulai dari cara berpikir, cara berbicara, cara berpakaian dan sebagainya.
Sungguh memprihatinkan rasanya tinggal bersama kumpulan manusia yang bermental sekadar numpang hidup. Semua dikerjakan hanya dengan otot dan insting, tidak  dengan otak. Salah satu kegiatan yang menjadi sorotan utamamu ialah ketika setiap orang harus berjerih lelah untuk mengambil beberapa liter air ke pegunungan yang berkilo-kilo meter jauhnya.
"Ini pemborosan tenaga dan waktu, kita harus cari cara agar air itu yang datang kemari bukan kita yang datang ke sana!"Â ungkapmu padaku.
Mimpimu itu pun terealisasi ketika kau terpilih menjadi kepala desa. Para warga setuju dengan idemu untuk membuat saluran pipa agar mereka tak perlu berjerih lelah hanya untuk mendapatkan beberapa liter air bersih. Berkilo-kilometer pipa-pipa pun disambung dan ditanam. Mulai dari pegunungan tempat mata air itu berada; melalui perbukitan, sawah di lembah, hingga akhirnya sampai di kampung asri ini.
Hanya uang tiga ribu rupiah sebulan menjadi petanda partisipasi perbaikan sana-sini. Tak perlu bahan bakar pengalir air. Prinsip fisika kau konkretkan yakni, air selalu mengalir ke tempat rendah. Proyek ini pun selesai dengan cepat sehingga para warga tak perlu cemas untuk mendapat air bersih; mencuci badan, baju, beko, cangkul, hingga memandikan kerbau. Pembutan pipa ini sungguh memberi manfaat yang berkelanjutan, jika dulu jam bekerja terpaksa berkurang karena mengambil air kini mereka dapat bekerja sepuasnya sehingga produktivitas pun meningkat.
Kebersihan kampung ini pun terjaga karena para warga tak perlu khawatir akan persediaan air jika hendak melakukan bersih-bersih. Kesehatan para warga pun ikut membaik. Sebelumnya kampung ini terkenal dengan julukan kampung kurapan karena banyaknya warga yang mengidap penyakit kurap. Penyebab utamanya hanya satu yakni jarang mandi karena persediaan air bersih sangat terbatas. Akan tetapi itu semua menjadi bundelan kenangan karena sekarang mereka dapat membersihkan badannya sebersih yang mereka inginkan.
***
Dari sejak dulu para warga memang telah menanti-nanti kapan kau akan menyalonkan diri untuk menjadi kepala desa. Hal ini dikarenakan dari mulai sejak kecil kau telah dikenal para warga sebagai orang yang jujur, berintegritas dan cerdas. Kakek pernah bercerita bahwa kau pernah dimusuhi seluruh teman sekolahmu karena kau menolak untuk menerima kunci jawaban dari sekolah ketika Ujian Nasional diselenggarakan.
"Kita belajar untuk kehidupan bukan untuk seonggok angka!" ucapmu lantang dihadapan para murid dan guru. Lanjutmu, "Wajar saja negri ini khususnya kampung ini tak pernah maju-maju karena pendidikannya telah dirasuki pemalsuan dan pembodohan. Jadi jangan heran bila banyak pemimipin negri ini masih bermental korup karena sudah dididik sedini mungkin!"Â Kata-katamu bak mata petir yang menyambar di siang bolong. Semua guru dan murid tertunduk lesu dan malu. Sebenarnya dari lubuk hati terdalam mereka sependapat denganmu akan tetapi tradisi tetaplah tradisi! Praktik pembagian kunci-kunci jawaban tetap saja dijalankan. Kau ibarat nabi yang berseru-seru di padang gurun tapi sayang tak ada yang mendengarkan.
Mulai sejak itulah kau dijuluki manusia kebenaran. Aku tidak tahu persis apakah itu sebuah sanjungan atau hinaan. Mungkin kedua-duanya, tergantung siapa yang memandang. Walaupun dijauhi dan dibenci karena prinsip hidupmu yang terlalu idealis, kau tetap saja menghidupinya dengan sepenuh hati.
Kau juga dikenal sebagai manusia si pengungkap kebenaran sekaligus pengungkap kebusukan terkait sistem perpolitikan di kampung ini. Jadi, wajar saja apabila kau memiliki banyak sekali pengagum rahasia termasuk aku di dalamnya. Akan tetapi secara bersamaan, banyak juga penduduk yang diam-diam bahkan terang-terangan membencimu bahkan siap melenyapkanmu karena merasa dirugikan.
Sejauh ingatanku mengingat, kau punya moto hidup yang sulit untuk kulakoni dan juga kebanyakan orang saat ini yakni, lebih baik mati berbuat kebaikan daripada hidup berbuat kezaliman. Dan motto ini juga yang kau gunakan ketika berkampanye dalam kancah pemilihan kepala desa. Seandainya semua warga telah sampai pada cara berpikirmu ini, aku yakin kampung ini akan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Jangankan kampung ini negara ini juga akan menjadi negara maju. Tapi kenyataanya kebanyakan orang masih memikirkan kepentingan perut masing-masing.
Kata-katamu dalam berpidato juga menyentil kebanyakan warga khususnya para aparat pemerintahan yang memerintah selama ini. Kau berkata, "Bapak-ibu sekalian, saya pernah dengar sebuah cerita bahwa dulu ada ladang yang begitu subur dan berjuta-juta hektar luasnya. Akan tetapi hasil panenanya sangat sedikit tidak sebanding dengan kesuburan dan luasnya lahan. Bapak-ibu tahu enggak kenapa ladang yang subur nan luas itu menghasilkan panenan yang sangat sedikit?" Semua terdiam dan geleng-geleng kepala.
Kau pun melanjutkan, "Itu semua karena pagarnya. Pa-gar-nya..., pagarnyalah penyebabnya Bapak-ibu. Ternyata pagarnya makan tanaman!" Mendengar itu mereka sontak tertawa dan bertepung tangan. Suasananya sungguh riuh sekali. Saya yang ikut hadir dalam moment bersejarah itu pun ikut tersenyum dan rasa kagumku terhadapmu semakin mendalam. Akan tetapi saat bersaaman secara sekilas saya memandang Pak Ando yang juga ikut hadir saat itu. Matanya nanar menatapmu, sepertinya ia merasa terhina karena kau pojokkan seperti itu. Ia telah menjabat sebagai kepala desa selama tiga puluh tahun dan kini ia  ingin menyalonkan diri lagi. Belum puaskah ia menikmati tanaman yang ia makan selama ini, pikirku.
Semua penduduk tahu bahwa yang kau maksudkan pagar makan tanaman itu ialah Pak Ando berserta antek-anteknya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintahan Pak Ando selama ini penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Hanya saja tidak ada satu pun yang punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya secara terang-terangan. Hal ini dikarenakan Pak Ando sungguh orang yang paling ditakuti di kampung ini.
Pak Ando punya kuasa dan uang yang dapat menutup semua mulut yang hendak menyuarakan kebenaran dan juga membeli suara warga penduduk setiap kali pemilu diselenggarakan. Inilah yang membuat tidak ada orang yang mau bersaing dengan Pak Ando dalam pemilihan kepala desa. Mereka sudah merasa kalah sebelum bertempur. Akan tetapi tahun ini tidaklah seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini adalah tahun yang bersejarah karena ada juga akhirnya orang yang berani menyalonkan diri menjadi kepala desa selain Pak Ando. Dan pria itu adalah kau. Kau bagaikan mesias yang telah lama dinanti-nanti.
Pemilihan pun dilangsungkan dan dengan was-was aku menyaksikan satu per satu orang yang memasuki posko pemilihan. Aku berharap dan berdoa agar para warga mampu memilih pemimpin yang dapat mengubah kampung kolot ini menjadi kampung yang modern. Ketika perhitungan suara dilakukan aku pun ikut menjadi pengawas relawan, mewaspadai jikalau ada kecurangan dalam perhitungan suara. Setelah semua suara selesai dihitung, semua warga bertepuk kegirangan karena yang memperoleh suara terbanyak ialah Budi Hartanto buka Ando Martoto. Dengan kemenangan ini, saya yakin desa ini telah berada pada gerbang modernisasi.
Keyakinan itu pun terjawab sehari setelah pelantikanmu, proyek yang kau janjikan yakni membuat saluran pipa  dengan segera dikerjakan. Setelah proyek ini berhasil kau pun melanjutkan dengan merenovasi semua sekolah-sekolah yang ada mulai dari SD, SMP hingga SMA. Tidak hanya itu saja, kau juga membangun puskesmas, perbaikan jalan dan pelbagai sarana dibuat untuk menunjung kebutuhan para warga. Tidak terasa lima tahun sudah kau mengabdi pada kampung ini.
Hasilnya sungguh memuaskan, tingkat kesejahteraan warga kampung ini meningkat cukup drastis. Melihat kerja nyata yang kau berikan para warga sepakat untuk mendukungmu dalam pemilihan kepala desa untuk periode selanjutnya. Aku berani bertaruh bahwa kaulah yang menjadi pemenang pemilihan kepala desa tahun ini. Hal ini dikarenakan yang menjadi lawanmu dalam pemilihan kepala desa ialah orang yang sama yakni, Pak Ando.
Hari yang telah dinanti-nanti akhirnya tiba juga. Kau duduk manis didampingi tekad dan mimpimu untuk membawa kampung ini pada kemajuan baik pendidikan, pertanian, kesehatan bahkan sampai pada perkampungan berbasis industri. Akan tetapi, dunia tidak sesederhana yang kaupikirkan. Pada saat itu juga kau tersadar bahwa hidup jujur, baik dan sederhana ternyata tidak secara otomatis dapat membawamu pada mimpi-mimpi yang ingin kau realisasikan.
Saat perhitungan suara selesai, kau bagaikan orang yang disambar petir di siang bolong, bukan, bukan di siang bolong tapi di pagi-pagi buta. Kau kalah telak! Suara yang kau peroleh hanya seperempat dari seluruh penduduk kampung. Kau hening sejenak dan tiba-tiba... kau tertawa begitu kerasnya hingga orang-orang pada berpikiran kau sudah gila. Ya..., menurutku kau memang orang gila. Orang gila yang gila-gilaan untuk memajukan kesejahteraan orang banyak.
***
Hari-hari kegembiraan pesta demokrasi pun berlalu. Usut punya usut, aku pun menjadi mengerti mengapa Pak Ando dapat memperoleh suara sebanyak itu. Ternyata selama kampanye ia melakukan kampanye hitam. Ia mengatakan bahwa Budi Hartanto itu bukanlah putra asli kampung ini. Dia hanyalah pendatang yang ingin menjadi penguasa di kampung ini setelah menjadi pemimpin ia akan menjadi orang kaya dan kekayaannya itu akan ia kirim kepada sanak keluarganya. Inilah kegilaan yang dilakukan Pak Ando selama berkampanye.
Tipu muslihat ini sungguh efektif mencuci otak para warga untuk tidak memilih Budi Hartanto. Memang benar orang yang bernama Budi Hartanto adalah pria pendatang di kampung ini. Akan tetapi dia datang bukan untuk menjadi pagar yang makan tanaman melainkan menjadi pagar yang siap melindungi tanaman dari pelbagai serangan khususnya dari babi-babi hutan yang sedang berusaha menyerobot masuk.
Siapakah  Budi Hartanto itu? Budi Hartanto itu ialah ayahku. Dia adalah ayahku, seorang ayah yang mati dalam permainan politik yang penuh dengan kebusukan dan kekonyolan. Bahkan menjelang kematiannya di senja itu, masih sempat-sempatnya ia tertawa dan berkata,
"Sungguh lucunya kampung ini, mereka tidak memilih saya karena saya bukan penduduk asli kampung ini. Saya sangka kampung ini telah menjadi perkampungan modern tapi ternyata taraf berpikir mereka masih berbasis ndeso. Ha.. ha... ha...."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H