Mohon tunggu...
Ofis Ricardo SH MH
Ofis Ricardo SH MH Mohon Tunggu... Pengacara - Akademisi, Pushardem, Advokat PKPU dan Kepailitan, Kurator - Pengurus

Managing Partner Ofis Ricardo and Partners; Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Demokrasi (Pushardem)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Politik Koalisi, Strategi Merebut Kekuasaan

11 Agustus 2018   08:45 Diperbarui: 11 Agustus 2018   09:48 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Penerapan kombinasi sistem presidensial-multipartai yang dianut dalam UUD 1945 membawa perubahan mendasar bagi pengelolaan pemerintahan. Karakteristik sistem presidensial yang tidak memiliki supremacy of parliament dipaksa tunduk kepada parlemen. Walhasil terjadinya politik koalisi yang sulit untuk dihindarkan.

Tak pelak, dari kombinasi sistem presidensial-multipartai ini melahirkan ketergantungan antar partai politik. Ketergantuangan antar partai ini terasa menyengat saat partai membangun koalisi untuk menggalang dukungan untuk pencalonan presiden dan wakil presiden.

Merujuk pada UU Nomor 7 tahun 2017 pencalonan presiden dan wakil presiden mengharuskan syarat ambang batas suara partai politik atau gabungan partai politik dengan syarat 20% atau 25% suara sah nasional. Inilah kemudian yang membuat ketergantungan partai ini tidak dapat dipisahkan yang berujung pada politik transaksional.

Koalisi parpol ini secara tidak langsung melahirkan politik transaksional. Menjadi sebuah hal yang lazim bilamana presiden terpilih memberikan timbal balik kepada partai pendukungnya berupa jabatan menteri dan jabatan lainnya. Agak nya idiom yang mengatakan "tidak ada makan siang gratis" ada benarnya bagaimana timbal balik koalisi partai yang terjadi selama ini.

Kita tentu masih ingat tatkala Pilpres 2014 pasanggan Jokowi JK begitu gencar mengkampanyekan koalisi tanpa syarat. Jokowi-JK berjanji bila terpilih sebagai presiden dan wakil presiden tidak akan bagi-bagi kursi bagi partai pendukungnya. Namun lagi-lagi itu hanya isapan jempol belaka. 

Jokowi sebagai Presiden terpilih dibayang-bayangi oleh partai koalisinya dalam menggunakan hak prerogatifnya. Sejumlah wajah yang menghiasi Kabinet Kerja merupakan kader partai pendukungnya yang juga gencar mengkampanyekan politik koalisi tanpa syarat.

Lalu apakah partai dapat disalahkan dengan hal ini? Partai sepenuhnya tidak dapat disalahkan karena partai pun sedang terjebak dengan sistem politik yang selama ini dibangun. 

Alih-alih keluar dari perangkap, yang terjadi adalah bagi-bagi kursi sebagai daya tawar untuk menggaet mitra koalisi sebagai syarat memenuhi ambang batas. Tak ayal jatah kursi kabinet begitu menggiurkan sebagai magnet untuk meraup dukungan partai sebanyak-banyaknya.

Memaknai Koalisi

Berada di barisan koalisi manapun sebuah partai memiliki satu diantara dua kemungkinan. Kemungkinan pertama ialah, calon yang diusung menang sehingga anggota koalisi mendapat jatah kursi kabinet. Kemungkinan kedua ialah calon yang diusung kalah sehingga anggota koalisi menjadi oposisi.

Sebuah partai bergabung dalam sebuah koalisi memiliki tujuan agar ia masuk menjadi penguasa. Namun di balik tujuan untuk menjadi penguasa, secara bersamaan koalisi menciptakan kutub yang siap berada di luar pemerintahan jika yang terjadi di luar harapan, misalnya gagal mengantarkan kandidat pada kemenangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun