Wacana anti terhadap partai politik (parpol) selalu muncul di saat menjelang suksesi politik seperti pemilu dan pilkada. Alasan anti parpol pun beragam, mulai dari kekecewaan publik atas kinerja kader parpol di eksekutif dan legislaitf, hingga kasus sejumlah kader parpol yang terlibat korupsi.
Deparpolisasi berarti upaya untuk mengurangi jumlah parpol. Namun akhir-akhir ini terjadi pergeseran makna dimana deparpolisasi diartikan sebagai gejala sosial dimana masyarakat anti terhadap parpol.
Kekecewaan masyarakat ini mengakibatkan menurunnya simpati publik yang berakibat munculnya gerakan deparpolisasi di masyarakat. Umumnya pendukung deparpolisasi mengklaim sebagai kelompok independen yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh parpol.
Di DKI Jakarta misalnya, deparpolisasi dimotori oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ahok yang saat Pilgub DKI tahun 2012 didukung oleh PDIP dan Partai Gerindra, berbalik badan menjadi anti parpol. Deparpolisasi bagi Ahok memang bukan hal baru, Ahok kerapkali berseberangan dengan DPRD DKI Jakarta yang notabene berisikan kader-kader parpol.
Parpol dalam konstitusi
UUD 1945 setelah amandemen menyebut kata “partai politik” sebanyak lima kali yaitu pada Pasal 6A ayat (2) sebanyak dua kali, Pasal 8 ayat (3), Pasal 22 E ayat (3), serta Pasal 24 C ayat (1). Pasal-pasal ini khusus mengatur mengenai peran partai politik dalam pemilu legislatif dan pilpres, serta kewenangan Mahkamah Konstitusi membubarkan parpol.
Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen yang tidak menyebut sekalipun kata “partai politik”. Implikasi dari hal ini ialah peran parpol di masa UUD 1945 sebelum amandemen memang tidak sekuat setelah amandemen. Perubahan ini pun juga terjadi pada DPR dan DPRD yang saat ini memiliki kewenangan yang sangat besar bila dibandingkan dengan sebelum amandemen.
Dalam hal pencalonan pileg, pilpres dan pilkada misalnya, peran parpol sangat dominan dalam menentukan para calon yang akan bertarung. Parpol satu-satunya pintu masuk untuk menjadi caleg ataupun calon presiden, walaupun untuk pilkada calon untuk perseorangan belakangan hadir namun tanpa menghapus calon melalui parpol.
Dalam Pasal 24 C ayat (1) secara spesifik menyebutkan bahwa Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. Pasal ini menegaskan keberadaan parpol sebagai organ vital dalam menjaga keberlangsungan lembaga negara DPR maupun DPRD. Pasal ini sebagai pengakuan konstitusi bahwa parpol sebagai satu-satunya tempat penyaluran partisipasi politik rakyat.
Fungsi parpol
Secara teori, parpol merupakan instrumen dalam menyalurkan partisipasi politik. Keberadaan parpol sebagai sebuah keharusan dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, terlebih dalam kondisi heterogenitas dan banyaknya penduduk Indonesia membuat keberadaan parpol tidak dapat dielakkan.
Eksistensi keberadaan parpol dalam politik modern saat ini dilatarabelakangi oleh demokrasi tidak langsung (indirect democracy) yang kian mengemuka. Pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat serta permasalahan sosial yang makin meluas membuat keberadaan parpol sebagai sebuah keharusan.
Demokrasi tidak langsung merupakan cikal bakal lahirnya sistem demokrasi perwakilan (indirect democracy) yang pada akhirnya lahirlah sistem kepartaian sebagai wadah masyarakat terorganisasi yang dipersiapkan mengisi jabatan politik.
Menurut Jimly Asshiddiqie rekrutmen politik dilakukan untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi tertentu. Karena parpol sebagai kumpulan politik, maka kader-kader yang telah diseleksi itu ditempatkan khusus pada jabatan-jabatan politik seperti menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota, hingga anggota DPR dan DPRD.
Parpol sebagai masyarakat terorganisasi bertujuan merekrut dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Sistem kepartaian banyak diterapkan oleh negara modern dewasa ini, termasuk dalam mengisi jabatan pada lembaga eksekutif dan legislatif selalu menggunakan parpol sebagai sarananya.
Kepala daerah peseorangan
Legitimasi calon kepala daerah perseorangan dimulai saat Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan beberapa Pasal UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan jabatan perseorangan, sehingga syarat-syarat yang ditentukan dalam UU Pemda ini adalah syarat bagi perseorangan. Terlebih dalam UU ini mengatur untuk membuka seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat.
UU Nomor 32 Tahun 2004 telah menjabarkan perintah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan menetapkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan pemilihan umum secara langsung dimana calonnya diajukan oleh parpol.
Munculnya calon kepala daerah perseorangan merupakan sebuah perubahan dalam demokrasi Indonesia yang mencapai puncaknya keterbukaan demokrasi di era reformasi. Di era orde lama dan orde baru, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh sebuah badan khusus dan DPRD yang berisikan kader parpol.
Pada era reformasi juga demikian, pemilihan kepala daerah melalui DPRD, hingga kemudian pemilihan kepala daerah tidak harus melalui parpol, tapi dibolehkan melalui jalur perseorangan.
Pasang surut peran parpol pun pernah terjadi di Indonesia. Sebelum Indonesia menerapkan sistem pilkada langsung, kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD baik provinsi dan kabupaten/kota. Dan bahkan sistem pemilihan DPRD ini berlangsung, pemilihan kepala daerah dipilih oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Pasca putusan MK yang membolehkan pencalonan kepala daerah melalui perseorangan membuat partai politik bukan satu-satunya sarana untuk mencalonkan diri. Dalam pertimbangannya, MK mengatakan menjadi pilihan kebijakan (policy) pembentuk UU untuk mengatur tata cara pemilihan kepala daerah.
Sehingga pilihan DPR untuk menjadikan parpol sebagai jalur pencalonan kepala daerah sudah tepat. Bahkan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang beberapa pasalnya telah diubah melalui UU Nomor 8 Tahun 2015 yang merupakan landasan hukum pilkada, tetap menjadikan jalur parpol dan perseorangan untuk mencalonkan diri.
Namun dengan adanya putusan MK ini, satu sisi sebagai pengakuan atas hak individu warga negara untuk dipilih, dan di sisi yang lain dengan tetap mempertahankan pencalonan jalur parpol sebagai penegasan bahwa pencalonan jalur parpol adalah konstitusional.
Oleh karena itu, keberadaan parpol tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan politik Indonesia. Keinginan pihak-pihak untuk tidak menjadikan parpol sebagai instrumen politiknya harus dihargai sebagai pilihan politik. Namun sebaliknya, keberadaan parpol tetap harus dipertahankan dengan tetap menguatkan peran parpol dengan selalu melakukan pengawasan dengan regulasi yang tegas. Apalagi konstitusi telah menjamin parpol sebagai satu-satunya wadah partisipasi politik rakyat sehingga meniadakan parpol sama dengan meniadakan demokrasi itu sendiri.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Welfare State Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H