Demokrasi tidak langsung merupakan cikal bakal lahirnya sistem demokrasi perwakilan (indirect democracy) yang pada akhirnya lahirlah sistem kepartaian sebagai wadah masyarakat terorganisasi yang dipersiapkan mengisi jabatan politik.
Menurut Jimly Asshiddiqie rekrutmen politik dilakukan untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi tertentu. Karena parpol sebagai kumpulan politik, maka kader-kader yang telah diseleksi itu ditempatkan khusus pada jabatan-jabatan politik seperti menjadi presiden, gubernur, bupati, walikota, hingga anggota DPR dan DPRD.
Parpol sebagai masyarakat terorganisasi bertujuan merekrut dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Sistem kepartaian banyak diterapkan oleh negara modern dewasa ini, termasuk dalam mengisi jabatan pada lembaga eksekutif dan legislatif selalu menggunakan parpol sebagai sarananya.
Kepala daerah peseorangan
Legitimasi calon kepala daerah perseorangan dimulai saat Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan beberapa Pasal UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan jabatan perseorangan, sehingga syarat-syarat yang ditentukan dalam UU Pemda ini adalah syarat bagi perseorangan. Terlebih dalam UU ini mengatur untuk membuka seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat.
UU Nomor 32 Tahun 2004 telah menjabarkan perintah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan menetapkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan pemilihan umum secara langsung dimana calonnya diajukan oleh parpol.
Munculnya calon kepala daerah perseorangan merupakan sebuah perubahan dalam demokrasi Indonesia yang mencapai puncaknya keterbukaan demokrasi di era reformasi. Di era orde lama dan orde baru, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh sebuah badan khusus dan DPRD yang berisikan kader parpol.
Pada era reformasi juga demikian, pemilihan kepala daerah melalui DPRD, hingga kemudian pemilihan kepala daerah tidak harus melalui parpol, tapi dibolehkan melalui jalur perseorangan.
Pasang surut peran parpol pun pernah terjadi di Indonesia. Sebelum Indonesia menerapkan sistem pilkada langsung, kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD baik provinsi dan kabupaten/kota. Dan bahkan sistem pemilihan DPRD ini berlangsung, pemilihan kepala daerah dipilih oleh Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Pasca putusan MK yang membolehkan pencalonan kepala daerah melalui perseorangan membuat partai politik bukan satu-satunya sarana untuk mencalonkan diri. Dalam pertimbangannya, MK mengatakan menjadi pilihan kebijakan (policy) pembentuk UU untuk mengatur tata cara pemilihan kepala daerah.
Sehingga pilihan DPR untuk menjadikan parpol sebagai jalur pencalonan kepala daerah sudah tepat. Bahkan UU Nomor 1 Tahun 2015 yang beberapa pasalnya telah diubah melalui UU Nomor 8 Tahun 2015 yang merupakan landasan hukum pilkada, tetap menjadikan jalur parpol dan perseorangan untuk mencalonkan diri.
Namun dengan adanya putusan MK ini, satu sisi sebagai pengakuan atas hak individu warga negara untuk dipilih, dan di sisi yang lain dengan tetap mempertahankan pencalonan jalur parpol sebagai penegasan bahwa pencalonan jalur parpol adalah konstitusional.