Mohon tunggu...
Ofis Ricardo SH MH
Ofis Ricardo SH MH Mohon Tunggu... Pengacara - Akademisi, Pushardem, Advokat PKPU dan Kepailitan, Kurator - Pengurus

Managing Partner Ofis Ricardo and Partners; Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Tata Negara dan Demokrasi (Pushardem)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pelajaran dari Ridwan Kamil

13 Maret 2016   14:24 Diperbarui: 13 Maret 2016   15:00 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemunduran Ridwan Kamil dari pertarungan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi pembicaraan hangat sejumlah kalangan. Keputusan Ridwan Kamil ini mengejutkan karena Ridwan Kamil dianggap sebagai penantang kuat bagi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) gubernur petahana.

Ridwan Kamil dianggap sukses memimpin Kota Bandung selama hampir tiga tahun masa kepemimpinannya. Seperti pemberian kredit usaha bagi 7000 warga miskin tanpa bunga dan agunan, pengangguran terbuka yang turun dari 10,9 persen menjadi 8 persen, indeks kebahagian warga bandung pun naik menjadi 70,6 di tahun 2015.

Ridwan Kamil juga menghantarkan Kota Bandung meraih Penghargaan Akuntabilitas Kinerja Terbaik Nasional Tahun 2015 dengan predikat A (memuaskan) atau setara nilai 80,22 dari Kemeterian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Prestasi ini menjadi berarti karena diraih setelah dua tahun Kota bandung secara konsisten melaksanakan refomasi birokrasi di semua lini, hasil kinerja ini pun melonjak dari 400-an menjadi peringkat satu nasional.

Survey yang dilakukan Populi Center menempatkan Ridwan Kamil di posisi kedua dengan hasil 25,5 persen, sedangan gubernur petahana Ahok dengan hasil 59 persen. Survey lainnya juga demikian, hasil survey Cyrus Network Ridwan Kamil hanya terpaut 5 persen dengan Ahok dimana Ridwan Kamil 38,6 persen dan Ahok 42,5 persen

Survey Cyrus Network ini menjelaskan jarak antara Ridwan Kamil dan Ahok sangat tipis. Dengan hasil survey ini, Ridwan Kamil yang meraih 38,6 persen suara merupakan capaian yang cukup baik. Terlebih Ridwan Kamil belum berkampanye mengenalkan dirinya.

Survey ini juga menggambarkan terjadi penurunan dukungan terhadap Ahok disebabkan karena kinerja dan kebiasan dirinya yang terus menerus mengecewakan publik. Cyrus Network menilai faktor komunikasi dengan bawahan menempati angka tertinggi mengapa Ahok tidak disukai oleh Warga DKI, yaitu di angka 50,2 persen, komunikasi dengan DPRD 49,5 persen, frekuensi berkunjung ke masyarakat 48,8 persen dan manajemen emosi 46 persen.

Ahok juga dikenal sebagai gubernur tempramen dan kerapkali mengeluarkan kata kasar yang ini sangat bertentangan dengan budaya masyarakat Indonesia yang santun dan menghargai sesama. Sikap seperti ini menjadi kontradiktif bila dibandingkan dengan Ridwan Kamil.

Sebaliknya gaya kepemimpinan Ridwan Kamil dikenal humanis, santun, dan merakyat. Sewaktu Ridwan Kamil menggusur kawasan kumuh perkotaan contohnya, Ridwan Kamil mengedepankan komunikasi dengan warga setempat. Sehingga konflik sosial yang biasa mewarnai relokasi tidak terjadi.

Sangat berbeda dengan gaya Ahok dalam menggusur kawasan Kampung Pulo dan Kalijodo yang mengarah pada konflik sosial. Dengan hal ini, warga Jakarta membanding-bandingkan Ahok dan Ridwan Kamil dari sisi kinerja dan sikap kepemimpinannya.

Dari catatan berbagai Pilkada, seorang kepala daerah yang memiliki masalah terhadap kepemimpinan dan integritas lebih mudah dikalahkan. Seperti contoh ialah di tahun 2008 saat pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf yang menumbangkan gubernur petahana Danny Setiawan yang saat itu terlibat masalah hukum pengadaan mobil pemadam kebakaran yang merugikan negara sekitar Rp 50 Milyar.

Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta diduga terlibat masalah hukum dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Berdasarkan audit BPK, Ahok diduga melakukan korupsi dalam pembelian Rumah Sakit ini yang merugikan negara sebesar Rp. 191 Milyar.

Termasuk dengan kehadiran Jokowi serta Ahok sendiri dalam Pilkada DKI Jakarta 2012, yang dianggap sebagai antitesa dari kepemimpinan Fauzi Bowo yang ketika itu dianggap gagal dalam memimpin DKI Jakarta. Sehingga Jokowi-Ahok dapat mengalahkan Gubernur Fauzi Bowo dengan segala program unggulannya.

Bila mengkaitkan gaya kepemimpinan Ahok dan Ridwan Kamil, maka peluang Ridwan Kamil terbuka lebar seiring dengan menurunnya simpati publik kepada Ahok. Dalam posisi ini, Ridwan Kamil mengambil posisi yang berbeda dengan Ahok dan menimbulkan ketertarikan warga Jakarta.

Dalam berbagai akun sosial media yang dimiliki Ridwan Kamil, ia menyampaikan alasan kemundurannya. Ridwan Kamil beralasan masih harus menyelesaikan tanggung jawabnya sebagai Walikota Bandung hingga tahun 2018. Alasan ini disayangkan publik walau tidak sedikit juga yang mendukung kemundurannya.

Dewasa ini, politisi dan partai politik berlomba-lomba memoles citra diri untuk mendapatkan simpati publik. Tujuannya untuk merebut hati rakyat agar mendapatkan kemenangan dalam suksesi politik seperti pemilu dan pilkada. Oleh karena itulah kemunduran Ridwan Kamil memperebutkan jabatan yang lebih tinggi ditengah tingginya kepercayaan publik merupakan hal yang tidak biasa.

Pilkada langsung yang merupakan buah dari reformasi menjadikan rakyat sebagai penentu keterpilihan kepala daerah. Dengan kata lain hanya suara rakyat yang dapat mendudukkan seseorang menjadi kepala daerah. Sehingga harus diakui, memoles citra untuk memenangkan pilkada agar tampak lebih baik bukanlah hal baru dalam politik.

Oleh karena itu, pilkada kabupaten/kota yang telah memilih bupati/walikota harus dipandang sama pentingnya dengan pemilihan gubernur. Karena tidak berarti seorang bupati/walikota yang telah dipilih dari hasil pilkada lantas meninggalkan jabatannya untuk meraih jabatan yang lebih tinggi. Rakyat berhak untuk meminta seorang bupati/walikota untuk menyelesaikan masa jabatannya.

Ini sebagai bentuk tanggung jawab kapada rakyat yang telah memilih seorang kepala daerah. Sehingga tidak semata-mata menjadikan jabatannya sebagai “batu lompatan” untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi.

Saat ini tengah mengemuka wacana perubahan terhadap UU Nomor 1 Tahun 2015 yang beberapa pasalnya telah diubah melalui UU Nomor 8 Tahun 2015. Undang-undang yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pilkada ini hanya mengatur kepala daerah yang mencalonkan diri di daerah lain harus mundur dari jabatannya.

Dengan kata lain, UU ini membolehkan bagi seorang kapala daerah yang sedang menjabat untuk mencalonkan diri di daerah lain asalkan bersedia mundur dari jabatan yang sedang diemban. Materi kepala daerah harus menyelesaikan masa jabatannya serta tidak meninggalkan jabatannya karena ingin mendapatkan jabatan lain sebaiknya diatur pula dalam UU ini.

Demi menjaga demokrasi yang telah berjalan, UU harus membuat aturan yang lebih tegas dengan melarang bagi bupati/walikota untuk meninggalkan jabatannya demi mendapatkan jabatan lain selama masa jabatannya belum berakhir. Sehingga rakyat yang telah memilih memiliki sebuah kepastian atas hasil dari pilihannya agar bekerja secara optimal dan tidak menjadikan pilihan rakyat sebagai komoditas politik untuk meraih jabatan yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun