So? Kita sebut sebagai budaya macam apa yang seperti ini? Budaya gajahkah? Banyak hal yang tak mungkin satu persatu ditulis disini sebagai sebuah tragedi sepak bola nasional. Akuntabilitas keuangan klub, akuntabilitas keuangan kompetisi, kasus penyuapan wasit, pengaturan pertandingan, gaji pemain yang tidak menentu, kasus meninggalnya pemain asing yang konon kekurangan finansial untuk berobat dan mungkin masih banyak lagi.Â
So? Entahlah, mungkin Imam Nahrawi juga judeg setelah duduk di kursi Kementerian olah raga melihat faktanya.Â
Singkat kata, mungkin karena terlalu ruwetnya budaya organisasi PSSI. Imam Nahrawi lalu menekan tombol off saja, mempetieskan PSSI. PSSI beku di peti es. Sambil terus bergerilya mencari celah untuk membangunkan kembali PSSI.Â
Tanggal 10 Mei Kemarin, setelah sekian lama dibekukan, tombol on kembali ditekan oleh Menpora ditandai penandatanganan SK pencabutan surat pembekuan PSSI. Bukan sekonyong-koyong membangunkan dengan timing yang tepat, tapi menurut saya adalah pertimbangan budaya organisasi, budaya carut marut, Â yang kalau boleh saya sebut sebagai broken culture yang dialami PSSI.Â
Benar kata Edgar Schein (1992) dalam bukunya Organizational Culture and Leadership: A Dynamic View. Bahwa budaya adalah atribut yang paling sulit diubah dalam sebuah organisasi, karena ia mencakup tetek bengek organisasi yang tak kasat mata maupun konkrit, apalagi kalau ia telah mengakar, budaya akut layaknya kanker stadium ahir.Â
Maka cara paling cepat untuk revolusi adalah merobohkan budaya lama dengan membuat pondasi budaya baru. Tekan tombol Off kemudian On. Ketika sistem jumud, mandeg, akibat budaya organisasi yang coreng moreng, kelunturan keyakinan untuk menghasilkan sebuah output yang terus menipis seiring waktu, memang bukan saatnya reformasi atau pun evolusi tapi sebuah revolusi budaya organisasi, yang disebut Jokowi sebagai revolusi mental.
Bahkan dengan tegas disebutkan, Jika individu-individu yang telibat membentuk budaya PSSI sebelumnya masih ingin berkuasa, Menpora tak akan sungkan menekan kembali tombol off. Catat itu tuan wahai yang disana, yang ingin terus berkuasa hanya karena kue, tanpa memikirkan bagaimana kemudian kue itu diproses, menjadi produk kue berkualitas bagus, kue yang kemudian laku dijual, dijual untuk menghidupi segenap pembuat kue.Â
Kue yang disukai masyarakat, kue yang selalu siap disantap kapanpun, kue yang menjadi pelipur lara di pos-pos ronda, kue pelipu rlara di pangkalan ojek, kue yang nikmat disantap di ruang keluarga Indonesia, seperti kue bermerek La LIga, kue Bermerek EPL, Kue bermerek Bundesliga, kue yang bermerek Serie-A? Kue yang menjadi kebanggaan Indonesia. Pahamilah tuan wahai, jangan tuan malah sibuk memakan kue sendiri, tekor kita nanti tuan wahai. Â Â
Maaf sekarang kite punye gaye tuan wahai! Begitu kira-kira kalimat Jokowi yang dibisikkan ke telinga Menpora. Akhirnya, Jayalah PSSI. Jayalah Sepak Bola Indonesia. Jayalah Indonesia. Salam Sepak Bola.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H