Mohon tunggu...
Sofwan Hidayat
Sofwan Hidayat Mohon Tunggu... -

Nulisnya dikit, Bengongnya Banyak.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Tombol On untuk PSSI, Upaya Merobohkan Broken Culture

13 Mei 2016   10:40 Diperbarui: 14 Mei 2016   09:07 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imam Nahrawi Mencabut SK Pembekuan PSSI di Kantor Kemenpora Jakarta (sumber: sport.merahputih.com/Kemenpora)

"A culture is like an immune system. It operates through the laws of systems, just like a body. If a body has an infection, the immune system deals with it. Similarly, a group enforces its norms, either actively or passively" (Henry Cloud)

Budaya (culture) adalah komponen penting dalam sebuah organisasi. Kajian organisasi kontemporer menyatakan bahwa budaya yang berjalan pada sebuah organisai akan punya banyak makna dalam mempengaruhi variabel-variabel penting sebuah organisasi. 

Budaya selayaknya seperti sebuah sistem kekebalan tubuh yang akan bereaksi dengan keburukan yang menimpa tubuh, merecovery yang rusak, bersifat aktif, membuat tubuh tetap dalam kondisi baik. Jika Pasif? Lalu apa gunanya?

Beberapa peneliti berhasil membuktikan bahwa budaya organisasi berpengaruh positif terhadap beberapa variable, seperti: kinerja management organisasi secara keseluruhan, kinerja individu dalam organisasi, kepuasan kerja individu dalam organisasi  dan lain sebagainya. Singkatnya budaya organisasi akan berpengaruh secara signifikan pada ouput sebuah organisasi. 

Budaya yang baik meningkatkan output sebuah organisasi, sebaliknya budaya yang buruk (broken culture) dapat mengakibatkan sebuah organisasi kacau balau secara sistemik sampai kepada organisasi yang jumud, mandeg, miskin prestasi sampai colaps alias game over. 

PSSI adalah organisasi yang memiliki tanggung jawab pada semua aspek sepak bola di Indonesia, pun memiliki budayanya sendiri. Entah budaya seperti apa, yang jelas output PSSI banyak yang layak disebut tragedi ketimbang prestasi. 

Mulai masalah pernah dipimpin oleh seorang CEO dari balik jeruji besi yang buat geleng-geleng kepala khalayak, mungkin tidak ada duanya selain di indonesia. So?Budaya apa yang akan ditanamkan oleh fakta semacam itu? 

Padahal menurut kajian kontemporer budaya organisasi, telah memberikan referensi yang jelas welo welo tur cetho, bahwa budaya organisasi yang sehat seperti IKEA sehingga menghasilkan organisasi yang tidak hanya besar tapi juga menghasilkan output yang besar adalah hasil dari sebuah sikap leadership sosok Ingvar Kamprad. Apple Inc dengan Steve Jobs-nya, Mark Zuckerberg dengan Facebook Inc-nya bla bla bla. So? Entahlah, mungkin begawan budaya organisasi macam Hoftsede dan Edgar Schein pun bingung untuk menilai kalau faktanya seorang CEO yang tinggal dibalik jeruji besi dapat memimpin sebuah organisasi yang punya output baik.

Tragedi lain PSSI pernah coreng moreng oleh aksi sepak bola gajahnya di Tiger Cup 1998, di level yang sudah tidak lagi nasional melainkan sudah ditinggkat Asia Tenggara, Tim Nasional Indonesia tiada malu mempertontonkan drama sepak bola gajah, hanya karena Indonesia enggan bertemu Vietnam. 

Hasilnya? Mursyid Effendi, yang mencetak goal bunuh diri pada pertandingan itu supaya kalah dari Thailand, 3-2 untuk kemenangan Thailand, diganjar larangan bermain seumur hidup diajang internasional karena dianggap mencederai sportifitas dan fairplay sepakbola. Kemudian Indonesia Juarakah dikompetisi ini? Oh, tentu saja tidak. 

Pertandingan di tingkat nasional tahun 2014, di divisi utama pertandingan antara PSS dan PSIS menampilkan drama pertandingan 5 goal yang semuanya bunuh diri, saling berbalas goal bunuh diri layaknya berbalas pantun, 3-2 untuk kemenangan PSS, menyajikan drama sepakbola gajah dengan motif yang kurang lebih sama, menghindari lawan yang relatif kuat. 

So? Kita sebut sebagai budaya macam apa yang seperti ini? Budaya gajahkah? Banyak hal yang tak mungkin satu persatu ditulis disini sebagai sebuah tragedi sepak bola nasional. Akuntabilitas keuangan klub, akuntabilitas keuangan kompetisi, kasus penyuapan wasit, pengaturan pertandingan, gaji pemain yang tidak menentu, kasus meninggalnya pemain asing yang konon kekurangan finansial untuk berobat dan mungkin masih banyak lagi. 

So? Entahlah, mungkin Imam Nahrawi juga judeg setelah duduk di kursi Kementerian olah raga melihat faktanya. 

Singkat kata, mungkin karena terlalu ruwetnya budaya organisasi PSSI. Imam Nahrawi lalu menekan tombol off saja, mempetieskan PSSI. PSSI beku di peti es. Sambil terus bergerilya mencari celah untuk membangunkan kembali PSSI. 

Tanggal 10 Mei Kemarin, setelah sekian lama dibekukan, tombol on kembali ditekan oleh Menpora ditandai penandatanganan SK pencabutan surat pembekuan PSSI. Bukan sekonyong-koyong membangunkan dengan timing yang tepat, tapi menurut saya adalah pertimbangan budaya organisasi, budaya carut marut,  yang kalau boleh saya sebut sebagai broken culture yang dialami PSSI. 

Benar kata Edgar Schein (1992) dalam bukunya Organizational Culture and Leadership: A Dynamic View. Bahwa budaya adalah atribut yang paling sulit diubah dalam sebuah organisasi, karena ia mencakup tetek bengek organisasi yang tak kasat mata maupun konkrit, apalagi kalau ia telah mengakar, budaya akut layaknya kanker stadium ahir. 

Maka cara paling cepat untuk revolusi adalah merobohkan budaya lama dengan membuat pondasi budaya baru. Tekan tombol Off kemudian On. Ketika sistem jumud, mandeg, akibat budaya organisasi yang coreng moreng, kelunturan keyakinan untuk menghasilkan sebuah output yang terus menipis seiring waktu, memang bukan saatnya reformasi atau pun evolusi tapi sebuah revolusi budaya organisasi, yang disebut Jokowi sebagai revolusi mental.

Bahkan dengan tegas disebutkan, Jika individu-individu yang telibat membentuk budaya PSSI sebelumnya masih ingin berkuasa, Menpora tak akan sungkan menekan kembali tombol off. Catat itu tuan wahai yang disana, yang ingin terus berkuasa hanya karena kue, tanpa memikirkan bagaimana kemudian kue itu diproses, menjadi produk kue berkualitas bagus, kue yang kemudian laku dijual, dijual untuk menghidupi segenap pembuat kue. 

Kue yang disukai masyarakat, kue yang selalu siap disantap kapanpun, kue yang menjadi pelipur lara di pos-pos ronda, kue pelipu rlara di pangkalan ojek, kue yang nikmat disantap di ruang keluarga Indonesia, seperti kue bermerek La LIga, kue Bermerek EPL, Kue bermerek Bundesliga, kue yang bermerek Serie-A? Kue yang menjadi kebanggaan Indonesia. Pahamilah tuan wahai, jangan tuan malah sibuk memakan kue sendiri, tekor kita nanti tuan wahai.   

Maaf sekarang kite punye gaye tuan wahai! Begitu kira-kira kalimat Jokowi yang dibisikkan ke telinga Menpora. Akhirnya, Jayalah PSSI. Jayalah Sepak Bola Indonesia. Jayalah Indonesia. Salam Sepak Bola. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun