Gampang saja, tambahkan saja tanda tanya pada ahir sebuah kesimpulan pernyataan yang mengandung penilaian, atau bentuk saja kalimat tanya. Sehingga kesimpulan ahir ada ditangan penerima pernyataan, pembaca atau pendengar, ABG menginjak Patung pahlawan, tanda bobroknya mental anak bangsa? Ahay, Jadilah sesuatu yang debatable. YY korban ketidak becusan pemerintah dalam mengelola miras? Mungkin saja.
Jika menilai pada sebuah kelompok, menggeneralisasi sesuatu bisa melukai perasaan, ketika kita punya teman PNS kemudian pada saat yang sama di jejaring sosial mendapat kabar miring PNS selingkuh disebuah hotel pada jam kerja, thus kita berkomentar "dasar PNS, bisanya makan gaji buta doang". Duarrrr! Ketika komentar kita dibaca teman yang nota bene PNS baik-baik, sedang sensi pula, sukur-sukur tetangga kita tidak sensi, no problem, tapi apa jadinya dia kalo lagi PMS? Ya derita loe. Pada kasus ini untuk tidak melukai pakailah kata oknum, hindari kata-kata yang menggeneralisir. Â Â
Cara ketiga. Lho kok ujug-ujug ketiga? cara pertama dan keduanya sudah saya sampaikan diatas, cuma saya tidak berselera memberikan nomor saja. hehe, Ya cara ketiga, Meminta maaf, kadang-kadang maaf jadi tidak berguna kalau sudah menyangkut harga diri. Bagi beberapa orang yang pemaaf dan gak baperan mungkin sangat mudah memberi maaf. Florence dan Saut juga meminta maaf, tapi kemudian proses hukum terus berjalan. Ya sudahlah.Â
So, Masih berani bernalar generalisasi? Kenapa TIdak! Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H