Selain tidak percaya dan meremehkan hubungan dengan orang lain, mereka juga cenderung meremehkan diri sendiri dengan mengabaikan perasaan terutama saat sedang tertekan. Seringnya mereka mengalihkan perhatian dengan bekerja, menonton, makan, belanja atau hal-hal yang disukai yang dapat menjadi distraksi atas perasaannya.
Kabar baiknya, seseorang dengan avoidant attachment beresiko lebih rendah mengalami toxic relationship, karena mereka lebih mudah memutuskan mengakhiri sebuah relasi. Kabar buruknya, orang dengan avoidant attachment ketika berkonflik dengan pasangan akan memilih untuk menghindari resolusi bersama.
Berdasarkan studi Schumann & Orehek, seseorang dengan avoidant attachment yang tinggi cenderung lebih sulit mengungkapkan permintaan maaf. Mereka berfikir bahwa permintaan maaf merupakan salah satu bentuk 'melukai' harga diri yang selama ini dibangun. Padahal relasi yang baik adalah tentang menyadari sikap dan kesalahan diri yang berpotensi menyakiti orang lain.
Seperti itu juga caramu memandang hubungan romantis, dengan kebingungan dan ketakutan akan kebergantungan dan jatuh cinta terlalu dalam. Bukan hal mudah menjadi orang dengan avoidant attahcment. Ini adalah bagian diri yang perlu kamu terima ketika kamu mencoba untuk menghindari luka akan perpisahan.
*disclaimer ini bukan promosi atau affiliate. tapi bisa jadi buku yang direkomendasikan untuk dibaca
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H