Mohon tunggu...
mochamadluthfi
mochamadluthfi Mohon Tunggu... Petani - penulis

semoga tetap aktif menulis apapun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Keselamatan Masyarakat Rempang dan Cagar Budayanya

21 September 2023   18:39 Diperbarui: 21 September 2023   22:06 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rempang, atau pulau Rempang di Batam Kepulauan Riau masih mencuat dan terus menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Penolakan terus terjadi dari masyarakat terhadap kebijakan relokasi atas pembangunan Rempang Eco-City yang digadang-gadang sebagai proyek strategis pemerintah skala nasional.

Relokasi menjadi kebijakan yang terus menerus menjadi andalan pemerintah untuk memberikan solusi yang sama-sama menguntungkan. Namun bagi masyarakat, relokasi merupakan hal yang tidak mudah baik secara psikologis maupun secara budaya. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain justru akan menimbulkan polemik baru, seperti fasilitas dan akses ekonomi, perubahan mata pencaharian, struktur tanah yang berbeda dengan sebelumnya, mengakibatkan lahan-lahan pertanian dan perkebunan menjadi tidak produktif, perubahan budaya dan bahkan kehilangan cagar budaya setempat.

Pembangunan di wilayah Indonesia memang pada hakikatnya ditujukan untuk mengangkat perekonomian masyarakat sekitar, sehingga sangat perlu menjadi perhatian semua pihak. Hal ini juga berkaitan erat dengan cita-cita Republik Indonesia yang diamanatkan di dalam Alinea keempat UUD 1945, berbunyi, "Melindungi segenap bangsa......Memajukan kesejahteraan umum. Mencerdaskan kehidupan bangsa.....berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial."

Keselamatan Masyarakat Rempang

Adagium yang terkenal dari seorang Filsuf bernama Tullius Cicero "Kesehatan kesejahteraan, kebaikan, keselamatan, kebahagiaan rakyat harus menjadi hukum tertinggi." Atau dalam bahasa latin "Salus Populi Suprema Lex Esto". Menjadi kalimat tertua yang hingga saat ini wajib menjadi perhatian khusus bagi setiap penyelenggara negara di dunia.

Kebijakan seharusnya tidak bisa dipaksakan dan tidak boleh menyengsarakan. Apalagi dalam kasus Pulau Rempang, setiap masyarakat dari segala usia mempertahankan tanah kelahiran mereka dan tetap bertahan menolak relokasi. Alasan penolakan dari masyarakat pada dasarnya adalah hal yang wajar, dan biasanya karena tidak adanya komunikasi yang baik dan solusi yang dapat diterima oleh masyarakat.

Keselamatan rakyat bertumpu pada pemerintah saat ini, kewajiban tersebut dituangkan pada UUD 1945 dan menjadi poros sentral agar kebijakan itu mengutamakan perlindungan kepada masyarakat. Hal ini tidak boleh bertentangan dengan amanat konstitusi tersebut.

Apalagi dalam konteks "keselamatan rakyat harus menjadi hukum tertinggi." Konstitusi secara jelas dan konkrit pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945"Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang Undang."

Pengakuan secara internasional juga diakui dan harus dijalankan terhadap perlindungan Masyarakat Adat memiliki hak yang sama terkait penghidupan, pendidikan, mempertahankan identitas, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi (United Nation Declaration on The Rights of Indigenous Peoples 13 September 2007). Namun kelemahan terhadap pengaturan relokasi masyarakat adat dalam dokumen Environmental and Social Standard (ESS) World Bank, jika dilihat satu persatu, tidak membahas cukup gamblang mengenai perlindungan hak masyarakat adat yang terdampak proyek.

Menyadari pengakuan internasional di atas, maka keselamatan masyarakat Pulau Rempang menjadi "beku" dan dikembalikan kepada kebijakan pemerintah terkait dengan investor terkait.

Untuk menghindari konflik yang berkelanjutan maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus memberikan solusi yang tepat agar tidak jatuh korban jiwa.

Pertama, Pemerintah harus kembali melakukan negosiasi kepada investor Rempang Eco-City, mengenai tempat pembangunan, dan pemilihan lokasi yang jauh dari konflik terutama terhadap keselamatan masyarakat adat melayu Pulau Rempang.

Kedua, sebagai negara hukum, maka diperlukan adanya kebijakan hukum tertulis Keputusan Presiden dan/atau Peraturan Daerah. Keputusan Presiden dapat berupa pencabutan Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1973 Tentang Daerah Industri Pulau Batam (Kepres). Sebab di dalam Keppres tersebut dijelaskan bahwa Pulau Batam yang termasuk dalam wilayah Daerah Tingkat I Propinsi Riau, ditetapkan sebagai Daerah Industri, selanjutnya di dalam Keputusan Presiden ini disebut Daerah Industri Pulau Batam (Pasal 1 ayat 1). Ditambah lagi jika di dalam Keppres tersebut tidak memuat pengakuan hak adat. Sehingga setidak-tidaknya Kepres yang baru memuat ketentuan Pasal 1 ayat 1 atau menambahkan Pasal tentang pengakuan hak adat.

Keselamatan Cagar Budayanya

Setiap pemerintahan di manapun di setiap negara tentu menginginkan adanya kemajuan ekonomi di negaranya, karena itu dalam setiap pemerintahan tidak akan mengkampanyekan anti investor asing. Justru kampanye yang disampaikan adalah iklan-iklan yang menarik para investor atau pemodal dalam negeri bahkan asing.

Namun perhatian saat ini adalah mengenai keselamatan cagar budaya yang berada di Pulau Rempang. Hingga saat ini Kampung Tua yang berada di Pulau Rempang belum memiliki status sebagai cagar budaya,sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kepulaun Riau (Kepri) (13/09/2023) mewakili masyarakat Rempang menjelaskan bahwa kawasan Rempang-Galang diusulkan menjadi kawasan Cagar Budaya agar memberikan kepastian hukum.

Konflik statement ini juga muncul dari usulan DPRD Kepri dan masyarakat Pulau Rempang, sebab Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia menginginkan juga bahwa Kampung Tua dijadikan sebagai cagar budaya sehingga dapat dilindungi, tetapi Bahlil juga menjelaskan bahwa apabila Kampung Tua dijadikan Cagar Budaya dan proyek Rempang Eco City berjalan maka tidak boleh ada pemukiman di dalamnya.

Melihat kondisi tersebut, konflik pada akhirnya akan terus terjadi, manakala kepentingan pemerintah dan masyarakat Pulau Rempang terus terjadi perbedaan.

Padahal cagar budaya menjadi penting sebagai napak tilas sejarah yang berharga, sehingga Convention   concerning   the Protection  of  World  Cultural  and  Natural Heritage  1972 menjadi rujukan yang khusus menangani pelestarian cagar budaya. Maka Indonesia dalam pengaturan cagar budaya tersebut memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Pada regulasi tersebut dilakukan harus berasaskan ketertiban dan kepastian hukum (Pasal 2 huruf e).

Artinya, ketentuan tersebut menjadi poin penting dalam menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Baik pemerintah pusat dalam hal ini kementerian memiliki kewajiban untuk mempertahankan cagar budaya di negaranya. Sebab kesadaran masyarakat sudah terwujud dengan kemauan untuk melindungi Kampung Tua sebagai cagar budaya. Maka tidak ada alasan lain bagi Pemerintah untuk menyetujui usulan tersebut.

Pemerintah harus menetapkan Kampung Tua sebagai cagar budaya dan merupakan bagian yang dilindungi dengan tetap mempertahankan masyarakat adat di sekitaran Kampung Tua sebagai bagian dari pengakuan adat melayu Pulau Rempang dan Kampung Tua adalah cagar budaya. Maka dua hal ini harus ditetapkan dalam bentuk Keputusan Presiden atau Pemerintah Daerah dapat menetapkan Peraturan Daerah tentang perlindungan cagar budaya di Pulau Rempang.

Sebab dalam konteks kepentingan, kebijakan hukum berperan sebagai pengawal agar keberadaannya bukan menjadi pasif sebatas ada pengaturan saja, tetapi harus ada kepastian hukum yang dalam implementasinya harus melindungi masyarakat Indonesia agar tidak timbul kerugian dari hak-hak masyarakat, maka peranan hukum dapat memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat serta sebagai alat untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi.

Sumber :

Penulis: Wahyu Hidayat, S.H. (Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun