Mohon tunggu...
Money

Perbuatan yang Sering Dilupakan Hukumnya oleh Umat Islam, Apakah Itu?

28 Februari 2019   00:11 Diperbarui: 28 Februari 2019   01:10 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agama islam memang mewajibkan umatnya untuk menjadi kaya, hal itu bisa dilacak dalah suatu hadits yang artinya " Kemiskinan akan mendekatkan seseorang ke dalam kekafiran.'' Bukti lainnya adalah dalam sebuah kitab yang berjudul al-ihtisab fi rizq al-mustahab dijelaskan tentang siapakah yang akan masuk syurga terlebih dahulu, apakah orang miskin yang bersabar ataukah orang kaya yang bersyukur. 

Karena sebenarnya kekayaan menurut Rasulullah adalah kekayaan jiwa karena jika seseorang kaya jiwanya, maka akan berlapang dada meskipun sepeser uangpun tak didapatkannya. Jika ia mempunyai harta meskipun sedikit, tetap akan dibagikannya sebagian kepada orang yang membutuhkan, karena dia merasa bersyukur dan cukup dengan rezeki tersebut. 

Lain halnya dengan orang yang miskin jiwanya, ia akan merasa kurang dan kurang terus meskipun mendapatkan banyak genggaman uang ditangannya. Karena dia merasa kekurangan itulah, maka dia enggan untuk bersedekah, berzakat, dan menolong orang lain dengan harta yang dimilikinya itu.

Dan bahkan kenyataan yang ada, banyak ulama' yang setuju bahwa orang kaya yang bersyukur (dengan berbagai standardisasi bentuk syukur yang sulit untuk dipraktekannya), akan masuk syurga telebih dahulu. 

Bahkan dalam suatu hadits disebutkan yang artinya, " Seseorang akan terputus amalannya kecuali tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang senantiasa mendoakan orang tuanya.'' 

Dari hadits ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bagaimana seseorang dapat beramal jariyah ketika dia tidak mampu mempunyai harta benda, bagaimana pula orang dapat menuntut ilmu apabila tidak memiliki harta benda, dan bagaimana pula seseorang bisa mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang sholeh dan sukses jika ia tidak memiliki sarana untuk mewujudkannya.

Akan tetapi terlepas dari perintah tersebut, agama islam juga sangat melarang dengan perilaku seseorang yang menimbun kekayaan. Karena salah satu dari nilai-nilai yang diajarkan dalam ekonomi islam adalah larangan untuk menimbun harta kekayaan. Karena untuk mencegah adanya praktik penimbunan kekayaan atau komoditas dengan maksud agar tidak terjadi kelangkaan dan menghidari kenaikannya untuk kepentingan pribadi pemiliknya. 

Menjadi kaya memang dianjurkan, akan tetapi kekayaan yang diperoleh harusnya didapatkan dengan cara yang baik dan didistribusikan dengan cara yang baik pula. Dalam surat at-taubah[9] ayat ke 34 disebutkan :

Artinya : "Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang bathil dan (mereka)menghalang-halangi (manusia)dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah pada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."

Distribusi menurut hadits nabi terdapat dua perbedaan yaitu distribusi yang bersifat profit taking (untuk mendapatkan keuntungan) dan yang kedua non-profit taking (tidak untuk mendapatkan keuntungan). 

Apabila distribusi yang pertama dimaksudkan agar dapat tersalurkannya barang-barang hasil produksi agar bisa dikonsumsi oleh masyarakat, dan yang mendistribusikannya mendapatkan keuntungan dari apa yang didistribusikannya. Sedangkan distribusi yang kedua adalah orang yang mendistribusikannya tidak mendapatkan keuntungan langsung, akan tetapi mendapatkan keuntungannya di akhirat kelak.

Kedua jenis distribusi tersebut sama-sama diperbolehkan oleh Rasulullah. Namun untuk distribusi jenis pertama terdapat pengecualian, misalnya Rasulullah melarang penimbunan barang (ihtikar) dan tidak mendistribusikannya ke pasar. 

Karena penimbunan barang biasanya dilakukan orang dengan sengaja agar bisa menjualnya ketika barang tersebut langka dengan harga yang lebih tinggi dengan yang ada dipasaran. Penimbunan disini dilarang karena termasuk aktivitas ekonomi yang mengandung kazaliman dan berdosa. Rasulullah bersabda:

: : (

Artinya : "Dari Ma'mar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "barang siapa yang menimbun barang maka ia bersalah atau (berdosa)." (HR. Muslim)

Jenis distribusi kedua yaitu berupa zakat, nafkah, shadaqoh, wasiat, hibah, dan sebagainya. Rasulullah sangat menganjurkan agar distribusi kategori ini dilakukan oleh tiap muslim yang mampu. Karena dengan mendistribusikan zakat kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, maka harta dan pemberi zakat akan bersih dan suci, karena fungsi dari zakat adalah untuk membersihkan segala harta yang kita miliki.

(Jaribah Ibn Ahmad al-Harits : 216) Begitu juga terhadap para muzakki, dengan menyerahkan sebagian hartanya karena Allah ta'ala berarti mereka meneguhkan jiwa mereka kepada iman dan ibadah. Bahkan ada 82 ayat alqur'an yang memerintahkan seseorang untuk shalat, dan didalamnya juga tertulis perintah untuk mengeluarkan zakat.

Selain zakat, shadaqoh juga sudah mulai dilupakan oleh umat muslim. Sedangkan dalam suatu hadits disebutkan, " Sungguh, sedekah itu meredakan murka Allah dan menghilangkan rasa sakit sakaratul maut." (HR.Bukhori). sedekah adalah bentuk kebajikan yang tidak terikat dengan jumlah dan waktu, seperti halnya zakat. 

Sedekah tidak hanya berupa material saja, akan tetapi juga bisa berupa dengan jasa yang bermanfaat kepada orang lain. Misalnya seperti menyingkirkan rintangan dijalan, menuntun orang yang buta, dan juga memberikan senyuman kepada orang lain dengan ikhlas adalah termasuk sedekah.

Selain itu, nafkah merupakan suatu kewajiban untuk menyediakan kebutuhan yang diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggungan. Sedangkan warisan yaitu pembagian harta yang ditinggalkan oleh orang yang sudah meninggal.

(Mustofa Edwin Nasution, 2010 : 119) Pembahasan tentang distribusi sebenarnya tidak terlepas dari pembahasan tentang konsep moral ekonomi yang dianut juga model instrumen yang diterapkan oleh individu maupun oleh negara dalam menentukan sumber-sumber ekonomi ataupun tentang cara-cara tentang pendistribusiannya.

(Syed Nawab Haider Naqvi, 1981 : 87) Proses distribusi tersebut harusnya dapat menciptakan faedah(utility) waktu, tempat, dan pengalihanhak milik. Dalam menciptakan ketiga faedah tersebut, ada dua aspek penting yang dapat terlibat di dalamnya, yaitu: lembaga yang berfungsi sebagai saluran distribusi(channel of distribution/marketing channel) dan aktivitas yang menyalurkan arus fisik barang(physical distribution).

(Adiwarman Azhar Karim, 2011 : 224-233) Para ekonom konvensional berbeda pendapat tentang distribusi yang adil, berbagai macam pendapat tersebut antara lain :

  • Konsep egalitarian: setiap orang dalam kelompok masyarakat menerima barang dengan jumlah yang sama.
  • Konsep rawlsian: maksimalisasi utility  orang yang paling miskin (the least well of person).
  • Konsep utilitarian: maksimalkan total utility  dari setiap orang dalam kelompok masyarakat.
  • Konsep market oriented: hasil pertukaran melalui mekanisme pasar yaitu yang paling adil.

Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalisme, distribusi dalam ekonomi islam memiliki makna yang lebih luas dan juga mencakup tentang aturan kepemilikan dan sumber-sumber kekayaan. Adapun prinsip-prinsip ekonomi dalam islam dibangun diatas nilai moral yang merencanakan kepentingan distribusi pendapatan dan kekayaan secara adil dan merata. 

Adil berarti tidak ada yang menzalimi orang lain dan juga dizalimi oleh orang lain. Islam memperbolehkan kepemilikan umum (public converty) dan kepemilikan pribadi (privat converty), dan meletakkan pada keduanya aturan untuk mendapatkan dan juga memilikinya, serta disertai dengan aturan-aturan tentang warisan, hibah, dan juga wasiat. Dalam ekonomi islam sendiri, lebih ditekankan kepada bagaimana cara penyaluran yang merata kepada beberapa pihak baik individu, masyarakat, maupun negara.

(Yusuf Al-Qardhawi, 1999M : 80) Islam melarang perbuatan distribusi barang atau jasa yang dilarang seperti bunga modal, dan bunga pinjaman yang termasuk riba. Selain itu seperti penimbunan barang hasil pencurian, khamar, bangkai, babi, dan lain-lain.

Ekonomi islam disini tidak mengingkari motif ekonomi itu sendiri, yaitu untuk mendapatkan laba/ keuntungan dari hasil yang dilakukannya sebagaimana yang ada dalam sistem ekonomi konvensional. Hanya saja, agama islam disini mengarahkan keuntungan ekonomi yang sesuai ndengan syari'at-syari'at islam. Karena apabila tidak sesuai dengan langkah ekonomi islam tersebut, maka akan dipastikan adanya kecurangan yang mengikuti langkah-langkah syetan dalam ekonomi tersebut. Sehingga hal tersebut bisa merugikan manusia yang lain.

Daftar pustaka :

  • Fauzia, Ika Yunia. & Riyadi, Abdul Kadir. 2014. Prinsip Dasar Ekonomi Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.
  • Idri. 2015. Hadits Ekonomi , Ekonomi dalam Perspektif Nabi. Jakarta: Kencana.
  • Rozalinda. 2014. Ekonomi Islam Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun