Ada beragam cara orang menjalani pembatasan sosial. Saya mengikuti nasehat dokter yang menganjurkan olah raga sebagai upaya penguatan immun tubuh. Saya rajin bersepada dalam masa pembatasan sosial ini.
Akibat dari perubahan jam terbang yang tiba tiba meningkat, sepeda butut saya rusak. Pedal pengayuhnya longgar dan berbunyi setiap kali mengalami tekanan. Tentu saja bising dan tidak nyaman. Saya membawanya ke bengkel Pak Doel—satu-satunya-- bengkel sepeda di desa saya.
Pak Doel menyapa semua pelanggannya dengan ramah. Seperti biasa saya mengulurkan tangan untuk salaman tapi Pak Doel mengejutkan saya dengan suaranya yang agak sedikit tinggi “Eit...jaga jarak!” pekiknya sambil tersenyum dan menampakkan tangannya yang belepotan oli karena baru saja menyambung rantai sepeda yang putus. Kamipun tertawa terkekeh.
Penolakan halus bersalaman dari Pak Doel kemudian menggiring kami berdiskusi tentang Covid19. Sambil menunggu Pak Doel bekerja kami saling berbagi cerita. Tentu saja saya yang hanya duduk duduk saja lebih mendominasi pembicaraan.Kami berbagi kisah lucu, jahatnya hoax, kemarahan, kebingungan, kisah sedih dan heroisme pahlawan medis dalam melawan Covid19.
Tiba tiba saja Pak Doel menjadi tempat curhat saya. Beberapa kali Pak Doel melihat saya dengan tatapan yang serius. Sampai akhirnya beliau berucap “Dik, dalam suasana seperti ini kita tidak boleh stres. Stres malah bisa membuat kita sakit” ujarnya dengan nada seperti seorang kiyai yang sedang berceramah.
Saya mendadak terdiam. Tatapan mata saya kosong ke arah Pak Doel, cortex saya tersengat, membenarkan pernyataan Pak Doel.
Manajemen Stres
Pak Doel mengingatkan saya tentang salah satu strategi respon bencana yang super penting tapi sering terlupakan. Itulah dia, manajemen stres. Kenapa? Karena stres itu inheren dalam setiap bencana.
Dalam kajian Manajemen Bencana, manajemen stres adalah bagian dari strategi dari respon bencana, baik internal maupun eksternal.
Secara internal, organisasi yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap respon bencana harus memiliki strategi bagaimana mengelola keadaan stress yang berpotensi dialami oleh para staff akibat bersentuhan langsung dengan situasi bencana.
Oleh karena itu, organisasi dan lembaga yang berpengalaman dalam respon bencana, seperti PBB dan LSM internasional harus selalu memastikan bahwa staff yang terlibat dalam respon bencana, terutama yang penugasan lebih dari tiga bulan, mendapatkan pelatihan manajemen stress agar staff memiliki pengetahuan dan skill untuk mampu mengelola stress akibat berhadapan dengan situasi extrem di lapangan.
Secara external. manajemen stress menjadi salah satu dari program respon bencana itu sendiri. Dalam setiap jenis bencana, secara umum dapat dipastikan penyintas akan mengalami depresi dengan berbagai tingkatan.
Gangguan psikososial ini—jika tidak ditangani dengan baik—akan memperdalam dampak kerusakan sekaligus mempersulit penanganan baik pada masa tanggap darurat maupun ketika masuk ke phase pemulihan.
Oleh karenanya, pelaksana respon bencana, selain menyalurkan bantuan berupa barang, seperti obat-obatan, tenda dan makanan juga melaksanakan program dukungan psikosial dan trauma healing bagi penyintas.
Kemampuan mengelola stress, baik bagi pekerja kemanusiaan maupun penyintas akan berpengaruh langsung terhadap kwalitas respon bencana serta semangat bangkit kembali dalam dan dari situasi bencana.
Manajemen Stress untuk Covid-19
Siapa yang paling rentan terhadap resiko stress dalam kasus bencana covid19? Secara sederhana—dengan pendekatan sama seperti pendekatan diatas—dapat dibagi dua yaitu Pemerintah selaku aktor utama pelaksana dan penanggung jawab respon dan masyarakat sebagai korban covid.
Jika dilakukan segregasi lebih dalam maka kita mendapati dari unsur pemerintah; dokter, tenaga medis, tim satgas covid adalah kelompok paling rentan mengalami stress.
Dari unsur masyarakat; pasien positif, PDP, ODP, keluarga korban yang meninggal, warga yang tinggal di area positif covid19 dan warga netizen yang terpapar hoax merupakan kelompok yang rentan terhadap stress dengan berbagai tingkatan.
Dalam tulisan yang pendek ini, penulis hanya ingin fokus pada kelompok pertama yaitu dari unsur pemerintah, dan juga LSM jika ada yang terlibat, selaku aktor utama pelaku respon bencana Covid19. Mengapa fokus kepada kelompok ini? Karena penanganan bencana wabah seperti Covid19 lebih rumit dari pada penanganan bencana alam.
Pelaku respon bencana Covid19 seperti dokter dan tenaga medis memiliki resiko lebih besar menjadi korban justru ketika sedang menolong korban. Selain itu, manajemen stres untuk warga sudah ada beberapa yang menulis. Sementara untuk aktor petugas masih minim.
Dalam beberapa hari ini kita membaca berbagai kisah heroik para dokter dan tenaga medis yang berjibaku melawan Covid19. Dada kita sesak kita membaca kabar ada dokter yang memilih tidak pulang ke rumah dan hanya melihat anak dari luar pagar, karena takut menularkan kepada keluarga. Kita juga pantas menitikkan air mata ketika mendapat kabar ada dokter dan perawat yang meninggal karena terjangkit virus.
Begitu juga dengan tim Satgas yang terus berpikir keras dan bertindak cepat untuk mencegah perluasan dampak dan menghentikan virus ini agar bangsa Indonesia bisa selamat.
Beban kerja semakin rumit ketika yang kritik lebih banyak dari pada yang membantu. Tidak terbayangkan betapa berat beban mereka dan tidak terbayangkan bagaimana gundahnya keluarga mereka. Mereka mengalami stres, itu pasti, meskipun saya belum menemukan ada survei khusus tentang mereka.
Kemampuan mengelola stres dan kemampuan menghadapi stres berbeda beda untuk setiap orang. Karenanya tidak berlaku satu resep untuk semua orang.
Yang dapat dilakukan adalah memfasilitasi orang-orang yang berpotensi mengalami stres agar dapat mencegah, mengenali gejalanya dan mendapatkan pelayanan jika sudah pada tingkat stres parah.
Berdasarkan pengalaman penulis yang aktif terlibat dalam beberapa misi kemanusiaan, ada beberapa kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah terkait dengan masalah ini, diantaranya:
1. Memberikan Pelatihan Dasar Tanggap Darurat kepada seluruh dokter dan tenaga medis yang terlibat dalam penanganan Covid19. Bisa dalam bentuk modul online yang dapat dijalankan secara mandiri. Modul pelatihan ini sudah banyak tersedia hanya tinggal dimodifikasi khusus untuk Covid19.
2. Pelatihan Dasar Manajemen Stres. Dibuatkan modul sederhana dalam bentuk soft copy dan dapat dibaca secara individu dengan tambahan layanan Q&A secara online.
3. Membentuk Tim Penanganan Stres di setiap Rumah Sakit dan Satgas (Nasional, Provinsi dan Daerah). Penting dipastikan dalam tim ini tersedia konselor (psikolog) yang cukup dan selalu tersedia bagi yang ingin berkonsultasi
4. Pembatasan Jam Kerja. Dalam kondisi jumlah pasien bertambah cepat sementara jumlah dokter dan tenaga medis tidak bertambah, sudah pasti akan terjadi overload. Management sumber daya dan manajemen waktu menjadi sangat vital dalam situasi seperti ini. Selain Rumah Sakit Umum milik pemerintah, beban ini seyogyanya juga dibagi dengan rumah sakit non rujukan dan rumah sakit swasta.
5. Ciptakan Lingkungan dan Situasi Kerja yang Nyaman. Keselamatan dan kemanan kerja bagi staff adalah peringkat pertama. Sediakan fasilitas yang memadai, kurangi beban birokrasi yang berlebihan dan ciptakan suasana relaksasi sederhana dalam tugas. Tunjuk team leader yang memiliki kompetensi manajemen dan leadership yang baik.
Tulisan sederhana ini tidak hendak memberikan solusi yang komprehensif untuk masalah yang cukup rumit. Penulis juga bukan seorang psikolog.
Dari pengalamannya selama 15 tahun aktif dalam respon bencana, tulisan ini hanya dimaksudkan sebagai pengingat saja. Semoga bermanfaat.
Kritik, saran dan tanggapan dapat disampaikan melalui umarbinabdaz@gmail.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H