Sejarah intelijen Indonesia setidaknya mengenal dua nama Zulkifli; pertama, Zulkifli Lubis yang memang seorang bapak pendiri dinas rahasia yang saat ini dikenal dengan nama Badan Intelijen Negara. Kedua, Zulkifli alias Abang Kifli, seorang petualang politik dengan cerita hidup tak ubahnya film Hollywood.Â
Pertama kali muncul ke permukaan sebagai staf menteri agama RI, terlibat dalam upaya pemerintah RI menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia, dan ditangkap oleh intelijen atas informasi dari asisten rumah tangga, siapa sebenarnya Abang Kifli?
Konfrontasi yang dilancarkan oleh Indonesia untuk menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia (mencakup Singapura dan Kalimantan Utara) bukanlah sekedar sejarah konflik antara dua negara serumpun.Â
Dalam beberapa episodenya, Konfrontasi melahirkan petualang-petualang politik seperti halnya Abang Kifli. Lelaki berdarah Melayu Kalimantan ini juga merupakan "bawahan" dari petualang politik lainnya bernama A.M. Azahari.Â
Berbeda dengan Abang Kifli, Azahari mendapatkan perlindungan politik dari Soekarno dan hidup sebagai eksil di Bogor hingga wafat pada tahun 2005. Sebab merasa di dalam perlindungan, Azahari juga memiliki lebih banyak kesempatan untuk membuka suara dibandingkan Kifli.Â
Salah satu wawancara terhadap Azahari dilakukan oleh duo Pramudya yaitu Pramudya Ananta Toer dan Pramudya Ardanta Taufik pada tahun 1997 yang antara lain mengungkap dukungan besar yang diberikan oleh rezim Soekarno kepada Federasi Kalimantan Utara.
Letnan Jenderal Asisten Menteri Agama: Mengenal Abang KifliÂ
Dalam karya spektakulernya Intel: Inside Indonesia's Secret Service Kenneth Conboy mendedikasikan satu halaman untuk menceritakan avonturir politik bernama Abang Kifli. Menurut penuturan Subandi dalam wawancaranya oleh Ken Conboy, Abang Kifli bermigrasi ke Indonesia pada tahun 1950an dan bekerja sebagai asisten dari Menteri Agama RI. Meskipun telah berada di sekitar pusaran kekuasaan, latar belakang Abang Kifli belum banyak diketahui. (hlm.37-38)
Seperti tertulis dalam The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia 1945-1965,A.M. Azahari yang di kemudian hari menjadi "atasannya" bahkan tidak pernah mengetahui arah politik Kifli pada tahun 1950an.Â
Hubungan yang ragu-ragu antara Azahari dengan Kifli tidak membuatnya ragu untuk menempatkannya sebagai Menteri Pertahanan pada pemerintahan perlawanan bernama Federasi Kalimantan Utara yang didirikan atas sokongan Soekarno dan Menlu Soebandrio. Kifli bahkan diberikan pangkat Letnan Jenderal yang oleh media-media Malaysia dan Singapura kerap kali diragukan keabsahannya dan ditulis di antara tanda kutip.
Dukungan terhadap Federasi Kalimantan Utara diberikan oleh Soekarno melalui dinas rahasia yang loyal kepadanya bernama BPI (Badan Pusat Intelijen). Badan Pusat Intelijen yang pada awalnya dipimpin oleh perwira-perwira angkatan darat termasuk Nasution pada awal dekade 1960an beralih ke tangan Brigadir Jenderal Sugeng Sutarto, ex-kepala badan intelijen kepolisian yang oleh Ken Conboy dideskripsikan sebagai diehard soekarnoist. Di atas Sugeng Sutarto terdapat Menlu Soebandrio yang secara de facto berperan sebagai kepala intelijen republik kala itu.
Dukungan politik Soebandrio terhadap Azahari salah satunya diberikan melalui restu untuk membentuk Kabinet Kalimantan Utara. Mayoritas anggota kabinet yang dipilih oleh Azahari dan direstui Soebandrio adalah putra Kalimantan berhaluan kiri dengan pengecualian pada Abang Kifli. Posisinya yang strategis sebagai menteri pertahanan mendorong Soebandrio untuk memberi perhatian lebih. Terlebih karena Soebandrio mengetahui bahwa pelindung Kifli di Jakarta adalah ex-Kepala BPI sekaligus salah seorang rival politik besarnya; A.H. Nasution.
 Siap Konfrontasi Berujung DesersiÂ
Setidaknya sejak bulan Mei tahun 1963, koran-koran Malaysia dan Singapura banyak memuat pernyataan dan menyebut nama Abang Kifli. Pada 3 Mei 1963, Surat kabar berbahasa Melayu Berita Harian mengabarkan bahwa Abang Kifli tidak menampik tuduhan pemerintah Malaysia bahwa dirinya berada di balik penyerangan terhadap anggota polisi, penyerbuan gudang senjata, dan kekacauan lain di Tebedu, Kuching.Â
Tepat satu bulan kemudian, surat kabar yang sama mengabarkan bahwa Abang Kifli dipilih oleh Azahari untuk memimpin 50.000 sukarelawan dari Partai Persatuan Rakyat Sarawak untuk memperjuangkan kemerdekaan Kalimantan Utara.
Bahkan pada penghujung tahun 1963, Azahari mengeluarkan ultimatum kepada masyarakat Sarawak yang memilih untuk membantu tentara Inggris dan Gurkha. Setiap bantuan yang diberikan kepada tentara Inggris dan Gurkha akan dibayar dengan nyawa.Â
Namun, kegarangan Abang Kifli tak berlangsung lama. Pada bulan Februari 1964, Berita Harian dan The Strait Times mengabarkan bahwa A.M. Azahari telah memecat Abang Kifli dari jabatan menteri pertahanan di dalam kabinetnya. Meskipun sumber lain seperti dimuat dalam Berita Harian pada 13 Februari 1964 menyebutkan bahwa Abang Kifli telah mengambil alih kepemimpinan Partai Persatuan Rakyat Sarawak dari A.M. Azahari.
Menurut Ken Conboy, semangat konfrontasi Abang Kifli berakhir dengan keputusan konyol untuk melarikan diri ke Jakarta sesaat sebelum menjalankan operasi inflitrasi yang oleh BPI diberi sandi Operasi "A".Â
Sadar bahwa ia dalam posisi tidak aman, Abang Kifli cepat-cepat meminta suaka dari Kedutaan Besar Filipina di Jakarta. Tak mengindahkan situasi regional yang sedang panas, Kedutaan Filipina mengabulkan suaka tersebut dan memberikan Abang Kifli tempat bersembunyi di kantor kedutaan yang berkedudukan di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Gosip ART dan Akhir Petualangan Abang Kifli
Menlu Soebandrio yang berang atas pelarian Abang Kifli memerintahkan agen-agen BPI untuk menangkapnya. Semenjak berada di bawah kepemimpinan Brigadir Jenderal Polisi Sugeng Sutarto, BPI kerap kali mendelegasikan tugas intelijennya kepada tekek polisi.Â
Pasukan gabungan ini dengan cepat dapat melihat celah yang dapat mereka gunakan untuk meringkus Abang Kifli. Celah tersebut adalah kantor kedutaan besar Filipina yang cenderung sepi pada hari minggu sore. Dari mana para agen BPI dan intel kepolisian mendapatkan informasi ini? Jawabannya adalah menguping perbincangan antara asisten rumah tangga kantor kedutaan yang sering melepas penat di suatu warung yang terletak tak jauh dari kantor kedutaan besar.
Pada kesempatan yang telah dihitung dengan matang, agen-agen BPI yang terdiri dari dua kapten polisi menculik Abang Kifli dengan menggunakan teknik rapelling yang biasa digunakan untuk menuruni tebing.Â
Dua agen BPI merangsek masuk ke dalam kamar sementara Abang Kifli dan menahannya hingga tersiar kabar pembebasannya pada sekitar bulan Mei 1966. Setelah pembebasannya, Abang Kifli lebih banyak beredar di Malaysia dan masih menghidupi mimpinya menolak pendirian negara Malaysia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H