Menjelang akhir tahun 2018, publik Yogya disuguhi oleh tontonan yang menarik, "Montserrat' karya Emmanuel Robles oleh Teater Alam dengan sutradaranya Puntung CM Pudjadi dalam rangka menyambut usianya yang ke 47.
Pada awal tahun ini, publik Yogya dimanjakan lagi oleh tontonan bermutu, "Sengkuni 2019" karya Emha Ainun Nadjib yang dimainkan oleh Teater Perdikan  yang disutradarai oleh Jujuk Prabowo. Terdengar kabar pula dalam waktu dekat Teater Gandrik akan hadir unjuk gigi memberikan tontonan yang biasanya "segar".
Barangkali terlalu dini jika dikatakan peristiwa-peristiwa tersebut sebagai pertanda akan kebangkitan kembali teater Yogya yang dapat menggetarkan. Namun, bukanlah hal berdosa jika muncul harapan, peristiwa tersebut menjadi api pembakar semangat terutama bagi kaum muda untuk menghidupkan, menggeliatkan, dan membangun terobosan-terobosan baru yang sesuai dengan perkembangan zaman, dengan kualitas kreativitas dari pergulatan total para seniman teaternya.
Teater Perdikan, yang pernah menampilkan "Nabi Darurat, Rasul Ad Hoc" (2012), kini tampil dengan lakon yang sangat kontekstual, dan namanya sering disebut-sebut atau yang pasti kerap dituliskan dalam status-status media sosial: SENGKUNI. Tapi, Emha Ainun Nadjib sang penulis naskah menolak bahwa naskah yang dibuatnya untuk mencari, menemukan atau menuding figur Sengkuni dalam suatu konstelasi.
"Pementasan ini justru menawarkan kepada yang menontonnya agar mencari "apa Sengkuni" pada kehidupan ber-negara dan masyarakat kita. Bukan "Siapa Sengkuni". Karena pada ukuran tertentu, tidak tertutup kemungkinan bahwa pada hakikinya kita semua atau masing-masing adalah Sengkuni," demikian dituliskan Cak Nun, demikian panggilan akrab Emha Ainun Nadjib dalam booklet pertunjukan.
Pementasan yang akan berlangsung dengan durasi dua jam lima puluh menit, kiranya merupakan tantangan tersendiri yang berat bagi Teater Perdikan untuk mengemas pertunjukan agar tidak membosankan para penonton. Ditambah bahwa lakon ini merupakan lakon serius yang mengandalkan kekuatannya pada dialog-dialog.
Kebetulan saya berkesempatan menonton latihannya saat di Rumah EAN di Kadipiro (7/1) dan saat berlangsungnya Gladi Resik di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (11/1).
Proses latihan sekitar empat bulan yang telah dilakukan, pada malam itu dinikmati pula oleh para seniman Yogyakarta. Sebut saja Indra Tranggono (pengamat teater), Khocil Birowo, Edo Nurcahyo, Vencensius Dwimawan (yang akan berpameran drawing wajah seniman Yogya di Rumah Budaya Tembi). Usai latihan, Cak Nun meminta yang hadir untuk memberi komentar atau masukan.Â
Dan mengalirlah beberapa kritik serta masukan-masukan. Pada saat menyaksikan gladi resiknya, saya terkesima bahwa kritikan dan masukan-masukan saat latihan tersebut hampir sebagian besar diterima. Memang Jujuk Prabowo selaku sutradara tentulah tidak diragukan lagi kepiawaiannya. Dalam waktu singkat ia mampu melakukan perubahan-perubahan. Waktu dua jam lima puluh menit, menjadi tidak terasa. Adegan demi adegan mengalir.
Joko Kamto yang berperan sebagai narator sekaligus sebagai Sengkuni mampu menunjukkan permainannya yang luar biasa, dengan vokal yang bagus, berirama dan terjaga dan gerak tubuh yang masih lentur dan prima.Â