Hal ini tergambarkan dalam tulisan Alam (Majalah Aneka, Nomor 8 tahun ke II, 10 Mei 1951) yang menyatakan: "Di Jogja, saja sudah beberapa bulan ini tidak ada pertunjukan sandiwara, selain pertunjukan Himpunan Sandiwara Penggemar "Raksi Seni" pada bulan Juli 1950, waktu memperingati 2 tahun berdirinya dengan cerita: "Hanya Satu Kali" saduran Sitor Situmorang dari cerita "The Valliant" gubahan Howorthy dan Robert Midlemans dan pertunjukan untuk amal oleh Perbeta dan "Aoca" oleh SMA Kesusastraan.Â
Padahal sebelum itu, ialah sesudah Yogya kembali ke tangan republik, publik harus memilih-milih dahulu cerita mana yang akan dilihatnya, sebab dalam 1 bulan kadang-kadang ada dua kali pertunjukan."
Kino Drama Atelier (bagian dari SHM) mempertunjukkan "Rosina dalam taufan" (gubahan Dr Hujung) dan Dr Kambodja (T. Sumardjo); Raksi Seni mempertunjukkan "ULar" (D. Suradji), Bunga Rumah Makan (Utuy Tatang Sontani), "Jalan Kembali" (Djoko Lelono), "Konvoi Penghabisan" (Sri Murtono), dan "Jopie Jansen" (D. Suradji); Gabungan Artis Pelajar mempertunjukkan "Sabotage" (Bakrie Siregar), "Suara Rakyat" (Bakrie siregar), dan "Paris dan Kecantikan" (Susunan Amrin Thaib); dan Front Seniman mempertunjukkan "Di Ambang Pintu" (Sri Murtono).
Di luar wilayah Yogyakarta, kelompok yang aktif melakukan pertunjukan dapat disebut "Ratu Asia' di Padang Panjang di bawah pimpinan Sjamsuddin Sjafei dan "Sandiwara Penggemar Maya" pimpinan Usmar Ismail.
Pada tahun 1950-an tumbuh berbagai kelompok sandiwara di berbagai kota, yang menonjol adalah Jakarta, Bandung, Bogor, Makassar, Surabaya, Medan, dan Yogyakarta sendiri.
Di Yogya, diantaranya adalah Teater Indonesia yang menjadi kelompok teater terkemuka hingga awal tahun 1960-an dengan tokoh-tokohnya seperti Mat Dhelan, Kirdjomuldjo,Nasjah Djamin, Motinggo Boesje, Iman Soetrisno, Muhammad Nizar, Mien Brodjo, dan sebagainya.Â
Juga Sanggarbambu yang dibentuk pada Agustus 1959 oleh Soenarto PR, yang awalnya dominan pada seni lukis, namun kemudian banyak berperan pada pementasan-pementasan teater yang dilakukan oleh kelompok lain utamanya dalam hal dekorasi atau artistik juga pementasan yang dilakukan oleh Sanggarbambu sendiri.
Pada periode tahun 1950 hingga awal 1960-an, Peran Sri Murtono sangat tinggi di dalam berbagai pertunjukan teater di Yogyakarta, mengingat ada beberapa kelompok yang dipimpinnya dan juga sekolah drama yang dikelolanya. Pertunjukan-pertunjukan cenderung menggunakan naskah-naskah yang ditulisnya, sehingga memunculkan sikap sinisme dari pihak lain.Â
Pada pertunjukan, ia cenderung memasukkan unsur kedaerahan (Jawa). Sinisme yang muncul misalnya dilontarkan oleh Pong Walujo dalam suratnya kepada Affandi yang termuat di majalah Kompas edisi 6-7 Tahun ke III, Juli 1953: "Model Suluk Wayang dimasukkan di sini, adalah suatu keberanian yang minta ditertawakan orang. Ooo, alangkah nyayatnya bila drama itu dipertunjukkan di jakarta atau di luar Jawa.
Aku namakan drama itu tidak lebih pada k e t o p r a k biasa saja." Pong Walujo mengacu kepada pementasan-pementasan yang disutradarai oleh Sri Murtono seperti: "Jonggrang".
Sejak tahun 1954, Fakultas Sastra Padagogik dan Filsafat Universitas Gadjah Mada, mulai muncul dengan pementasan dramanya. Diawali dari pementasan "Ratna" karya Armjin Pane dalam Dies Natalis UGM 1954, disusul "Nona Marjam" karya Kirdjomuljo di tahun 1955, "Senja dengan Dua Kematian" karya Kirdjomuljo pada 1-2 September 1956 di Gedung CHTH, yang ketiganya disutradarai oleh Umar Kayam.Â