Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Selintas Kehidupan Teater Modern di Jogja Tahun 1950-an

25 Desember 2018   17:30 Diperbarui: 26 Maret 2019   09:12 5444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan Pementasan Raksi Seni yang dimuat di Majalah Minggu Pagi (Dok. Odi)

Hal ini tergambarkan dalam tulisan Alam (Majalah Aneka, Nomor 8 tahun ke II, 10 Mei 1951) yang menyatakan: "Di Jogja, saja sudah beberapa bulan ini tidak ada pertunjukan sandiwara, selain pertunjukan Himpunan Sandiwara Penggemar "Raksi Seni" pada bulan Juli 1950, waktu memperingati 2 tahun berdirinya dengan cerita: "Hanya Satu Kali" saduran Sitor Situmorang dari cerita "The Valliant" gubahan Howorthy dan Robert Midlemans dan pertunjukan untuk amal oleh Perbeta dan "Aoca" oleh SMA Kesusastraan. 

Padahal sebelum itu, ialah sesudah Yogya kembali ke tangan republik, publik harus memilih-milih dahulu cerita mana yang akan dilihatnya, sebab dalam 1 bulan kadang-kadang ada dua kali pertunjukan."

Latihan Raksi Seni di Gedung CHTH (Sumber: Minggu Pagi, Nomor 20 Tahun ke III,12 Agustus 1951)
Latihan Raksi Seni di Gedung CHTH (Sumber: Minggu Pagi, Nomor 20 Tahun ke III,12 Agustus 1951)
Lebih lanjut dinyatakan berdirinya kelompok-kelompok teater yang aktif mengadakan pertunjukan, seperti: Ksatria dan Studio Artis mempertunjukkan "Penduduk Jogja", (gubahan Dr Hujung) dan "Konvoi Penghabisan (gubahan Sri Murtono) dengan biaya Stichting Hiburan Mataram.

Kino Drama Atelier (bagian dari SHM) mempertunjukkan "Rosina dalam taufan" (gubahan Dr Hujung) dan Dr Kambodja (T. Sumardjo); Raksi Seni mempertunjukkan "ULar" (D. Suradji), Bunga Rumah Makan (Utuy Tatang Sontani), "Jalan Kembali" (Djoko Lelono), "Konvoi Penghabisan" (Sri Murtono), dan "Jopie Jansen" (D. Suradji); Gabungan Artis Pelajar mempertunjukkan "Sabotage" (Bakrie Siregar), "Suara Rakyat" (Bakrie siregar), dan "Paris dan Kecantikan" (Susunan Amrin Thaib); dan Front Seniman mempertunjukkan "Di Ambang Pintu" (Sri Murtono).

Di luar wilayah Yogyakarta, kelompok yang aktif melakukan pertunjukan dapat disebut "Ratu Asia' di Padang Panjang di bawah pimpinan Sjamsuddin Sjafei dan "Sandiwara Penggemar Maya" pimpinan Usmar Ismail.

Pada tahun 1950-an tumbuh berbagai kelompok sandiwara di berbagai kota, yang menonjol adalah Jakarta, Bandung, Bogor, Makassar, Surabaya, Medan, dan Yogyakarta sendiri.

Di Yogya, diantaranya adalah Teater Indonesia yang menjadi kelompok teater terkemuka hingga awal tahun 1960-an dengan tokoh-tokohnya seperti Mat Dhelan, Kirdjomuldjo,Nasjah Djamin, Motinggo Boesje, Iman Soetrisno, Muhammad Nizar, Mien Brodjo, dan sebagainya. 

Juga Sanggarbambu yang dibentuk pada Agustus 1959 oleh Soenarto PR, yang awalnya dominan pada seni lukis, namun kemudian banyak berperan pada pementasan-pementasan teater yang dilakukan oleh kelompok lain utamanya dalam hal dekorasi atau artistik juga pementasan yang dilakukan oleh Sanggarbambu sendiri.

Pada periode tahun 1950 hingga awal 1960-an, Peran Sri Murtono sangat tinggi di dalam berbagai pertunjukan teater di Yogyakarta, mengingat ada beberapa kelompok yang dipimpinnya dan juga sekolah drama yang dikelolanya. Pertunjukan-pertunjukan cenderung menggunakan naskah-naskah yang ditulisnya, sehingga memunculkan sikap sinisme dari pihak lain. 

Pada pertunjukan, ia cenderung memasukkan unsur kedaerahan (Jawa). Sinisme yang muncul misalnya dilontarkan oleh Pong Walujo dalam suratnya kepada Affandi yang termuat di majalah Kompas edisi 6-7 Tahun ke III, Juli 1953: "Model Suluk Wayang dimasukkan di sini, adalah suatu keberanian yang minta ditertawakan orang. Ooo, alangkah nyayatnya bila drama itu dipertunjukkan di jakarta atau di luar Jawa.

Aku namakan drama itu tidak lebih pada k e t o p r a k biasa saja." Pong Walujo mengacu kepada pementasan-pementasan yang disutradarai oleh Sri Murtono seperti: "Jonggrang".

Sejak tahun 1954, Fakultas Sastra Padagogik dan Filsafat Universitas Gadjah Mada, mulai muncul dengan pementasan dramanya. Diawali dari pementasan "Ratna" karya Armjin Pane dalam Dies Natalis UGM 1954, disusul "Nona Marjam" karya Kirdjomuljo di tahun 1955, "Senja dengan Dua Kematian" karya Kirdjomuljo pada 1-2 September 1956 di Gedung CHTH, yang ketiganya disutradarai oleh Umar Kayam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun