Mohon tunggu...
Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin Mohon Tunggu... Konsultan - Pegiat hak-hak anak dan pengarsip seni-budaya

Bergiat dalam kegiatan sosial sejak 1984, dan sejak tahun 1994 fokus pada isu anak. Lima tahun terakhir, menempatkan diri sebagai pengepul untuk dokumentasi/arsip pemberitaan media tentang seni-budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyimak Sastra Bulan Purnama, Sanggarbambu dan Teater Alam di Yogyakarta

25 Desember 2018   10:39 Diperbarui: 25 Desember 2018   10:45 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Trilogi Teater Alam Yogyakarta (Dokpri)

Tiga acara kesenian dalam tiga hari berturut-turut, saya merasa beruntung dapat menghadirinya. Pertama, "Sastra Bulan Purnama" (SBP) di rumah Budaya Tembi yang telah memasuki putaran ke 87 (21/12), Kedua, 'Peringatan 55 Tahun Ikrar Sanggarbambu" bertempat di Sanggarbambu (22/12) dan "Bedah Buku Trilogi Teater Alam" bertempat di Amphy Theatre Taman Budaya Yogyakarta (23/12).

Kegiatan SBP yang dimotori oleh Ons Untoro, patut mendapatkan apresiasi yang tinggi mengingat ini merupakan ruang ekspresi dan ruang pertemuan yang telah berlangsung dan mampu bertahan selama tujuh tahun. Para penyair lintas generasi, yang tidak terbatas dari wilayah Yogya, telah  memanfaatkan ruang ini.

Sedangkan untuk acara kedua dan ketiga, rasa salut kepada kedua organisasi, yang mampu bertahan dan menunjukkan kreativitasnya. Sanggarbambu yang didirikan pada tahun 1959, dalam usianya yang menjelang 60 tahun masih menunjukkan geliatnya dengan berbagai kegiatan seni dan sanggar yang mereka miliki masih memiliki nafas kehidupan. 

Sedangkan Teater Alam yang berdiri pada tahun 1972, dan tinggal hitungan hari akan mencapai usia 47 tahun, kendati tidak begitu produktif, namun masih menunjukkan gigi. Belum lama berselang, Teater Alam hadir dengan pementasan "Montserrat" karya Emmanuel Robles, terjemahan Asrul Sani, yang disutradarai oleh Puntung CM Pudjadi di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (28/11), dengan para aktor lintas generasi, dan pementasan dianggap berhasil. Baik dari sisi permainan yang bagus maupun jumlah penonton (yang membahagiakan adalah sebagian besar adalah kaum muda) yang memenuhi gedung pertunjukkan dan bertahan menikmati hingga pertunjukan usai.

Sastra Bulan Purnama

Penyerahan buku (dokpri)
Penyerahan buku (dokpri)

Digelar pertama kali pada 12 Oktober 2011, dan terus berlangsung setiap malam bulan purnama, bertempat di Rumah Budaya Tembi, tiada terasa waktu berjalan hingga melewati tujuh tahun. Ratusan penyair dan profesi lain yang pernah membuat syair seperti aktor teater, wartawan, aktivis mahasiswa, tokoh politik, dosen, dan sebagainya yang lintas generasi pernah hadir dan membacakan puisinya di sini. Tidak hanya yang tinggal di Yogyakarta saja, melainkan orang-orang yang pernah berproses di Yogya dan juga dari kalangan seniman berbagai kota.

Tentulah menjadi daftar panjang untuk menyebut orang-orang yang pernah tampil di Sastra Bulan Purnama (SBP). Tapi setidaknya sebagai gambaran dapat disebutkan beberapa nama, diantaranya: Noorca M. Massardi, Veven Sp Wardhana (Alm), Jodhy Yudono, Eko Tunas, Harris Semendawai (ketua LPSK), Nana Ernawati, Endah Rahardjo, GKR Hemas.

Setiap acara, diterbitkan antologi puisi yang berisi karya-karya dari para pengisi acara, yang tentunya juga menjadi bahan dokumentasi berharga.  Secara khusus, beberapa kali pula diterbitkan antologi puisi.

Dengan demikian, Rumah Budaya Tembi menjadi salah satu satu kantong kesenian dan Sastra Bulan Purnama menjadi peristiwa yang penting, tidak terbatas untuk Yogyakarta, melainkan di Indonesia ini. Upaya dan kerja keras dari Ons Untoro, sang inisiator dan penggeraknya, patut mendapat acungan jempol.

Pada putaran ke 87 ini, ada yang spesial. Untuk pertama kalinya, SBP dirancang khusus untuk menampilkan geguritan. Walau pada edisi-edisi sebelumnya, geguritan pernah pula ditampilkan di sela pembacaan puisi modern. "Seringkali kita terlupa, ada puisi lain, puisi etnik, seperti geguritan. Malam ini, yang khas, adalah geguritan semarangan," demikian dikatakan Ons Untoro dalam pembukaan acara.

Geguritan yang ditampilkan dipetik dari dua buku yang malam itu diluncurkan, yakni: "Wanodya" yang digagas oleh Aireyoko, berisi karya dari 14 penggurit yang seluruhnya perempuan, dan "Pokokmen Semarangan" karya Sulis Bambang.

Tampil dalam acara ini, sebagian dari para penggurit yang karyanya termuat dalam kedua buku tersebut, grup Sanggarbambu yang mengolah performance dari tiga geguritan , Aireyoko yang membacakan salah satu geguritan karya Sulis Bambang, dan Endah Rahardjo.

Acara SBP memang sudah terancang dengan jadwal yang sudah dipersiapkan hingga setahun ke depan. "Oktober 2019 nanti, akan tampil anak-anak WS Rendra membacakan puisi-puisi bapaknya," jelas Ons Untoro di sela acara. Sukses selalu, Bung!  

Endah Rahardjo, turut membacakan salah satu geguritan (Dokpri)
Endah Rahardjo, turut membacakan salah satu geguritan (Dokpri)
Sanggarbambu

Ocong Saroso & Acmad Masih sebagai narasumber (dokpri)
Ocong Saroso & Acmad Masih sebagai narasumber (dokpri)

"55 Tahun Ikrar SanggarBambu", demikian tajuk acara yang diselenggarakan oleh Sanggarbambu bertempat di sekretariat mereka di Tempuran, Bantul. Dua orang narasumber dihadirkan yakni Ocong Saroso dan Achmad Masih yang dipandu oleh Ana Ratri. Sayang, saya datang terlambat, sehingga hanya dapat mendengar sepenggal narasi dari narasumber kedua.

Ikrar Sanggarbambu tentu merupakan peristiwa penting yang dihasilkan dari pertemuan besar yang berlangsung pada tanggal 13, 14 dan 15 Desember 1963, di Sanggar Pusat Purwodiningratan setelah  lima (5) tahun setelah berdirinya Sanggarbambu. Ikrar yang dibacakan oleh Wilmar Jassin, untuk kemudian ditandatangani oleh para seniman yang tergabung dalam sanggarbambu baik pelukis, musikus, sastrawan, pematung, mahasiswa, dan simpatisannya.

Sayang, karena datang terlambat, tidak sempat mendengar penjelasan tentang latar belakang dan proses diskusi selama tiga hari tersebut hingga lahirnya Ikrar Sanggarbambu itu. 

Saya kira, pertemuan besar yang dikatakan yang pertama bagi sanggarbambu dan dihadiri pula oleh para anggota  dan pengurus yang tinggal di Jakarta, dilatar-belakangi oleh situasi(sosial-politik) yang harus segera direspon oleh Sanggarbambu. Apakah demikian? Entahlah.

Acara yang dihadiri pula oleh para sesepuh Sanggarbambu seperti Liek Suyanto, Pak Pono, Untung Basuki, masing-masing mengungkapkan penggalan-penggalan kisah atau peristiwa di Sanggarbambu.

Ketika saya menyinggung tentang adanya informasi pemecatan anggota sanggarbambu paska 1965, hal tersebut dibantah oleh Liek Suyanto. "Tidak benar itu. Tidak ada pemecatan di Sanggarbambu. Kecuali orangnya keluar sendiri. 

Memang pernah terjadi perpecahan, sehingga ada yang namanya Sanggarbambu '59 (?)" lalu disebutkan nama-nama yang tidak sepakat dengan kepemimpinan Sunarto PR.

Tentang Sanggarbambu '59, tampaknya harus dilacak lagi, mengingat pada pemberitaan seputar Sanggarbambu '59, masih disebutkan Soenarto PR sebagai pimpinan. Atau ada nama lainnya?

Tidak dipungkiri bahwa kehadiran Sanggarbambu  memberikan kontribusi besar pada perjalanan Seni Lukis Indonesia dan Teater. Anggota Sanggarbambu misalnya, pada tahun 1963, 1964 dan 1965, beberapa kali menyambangi beberapa kota di Jawa Timur untuk menghidupkan dan menggerakkan dunia teater di sana. Di Tegal, Sanggarbambu dinilai mampu memotivasi dan menggerakkan kehidupan senirupa di kota tersebut.

Di Yogya sendiri, Sanggarbambu yang pada awal pendiriannya secara rutin melakukan kegiatan berupa pameran di sanggarnya setiap seminggu sekali, memberikan kontribusi dalam dekor atau artistik pementasan-pementasan berbagai kelompok teater, selain juga pentas atas nama Sanggarbambu.

Para seniman besar di Indonesia, pernah berada dalam geliat kreativitas Sanggarbambu seperti Danarto, Sjahwil, WS Rendra, Putu Wijaya, Darmanto.

"Dunia memang sudah berubah, di zaman milenial, bagaimana Sanggarbambu dapat memberikan peran dalam kesenian?" lontaran pertanyaan dari Ana Ratri selaku moderator, yang menjadi PR bagi generasi muda yang kini berada dalam Sanggarbambu.

Dokpri
Dokpri
Teater Alam

Azwar AN, pendiri dan pimpinan Teater Alam (dokpri)
Azwar AN, pendiri dan pimpinan Teater Alam (dokpri)

"Bedah Buku Trilogi Teater Alam" boleh dikata merupakan peristiwa budaya yang menarik dan penting. Menyambut usianya yang ke 47, mereka menerbitkan tiga buku sekaligus, yakni: 1) Azwar AN, Manusia Teater; 2) Teater Alam, Di Panggung Zaman, dan 3) Potret Teater Alam, Warna-Warni Testimoni.

Terbitnya tiga buku ini, bukan bermakna bagi para anggotanya saja sebagai bahan dokumentasi, melainkan juga menjadi salah satu bahan pembelajaran atau bahan kajian bagi para akademisi untuk mengkonseptualisasikan metode-metode yang dikembangkan oleh teater alam dan juga menjadi bahan penting untuk menelisik sejarah perjalanan Teater Indonesia.

Teater Alam yang dibentuk pada 4 Januari 1972, setelah Azwar AN memutuskan keluar dari Bengkel Teater, pada periode 1970-1980-an merupakan salah satu kelompok teater yang menonjol di Yogyakarta. 

Pada tahun pertama berdiri, Teater Alam langsung dapat menembus Taman Ismail Marzuki yang dikenal sangat ketat membuka ruang bagi kelompok teater di luar tiga kelompok yang mendapatkan fasilitas dari mereka untuk tampil setiap tiga bulan sekali (Teater Kecil, Teater Populer dan Bengkel Teater Yogyakarta). Teater Alam dapat dikatakan sebagai satu-satunya kelompok teater dari Yogyakarta yang pada tahun 1970-an berhasil tembus ke TIM dan mendapatkan fasilitas setelah Bengkel Teater.

Teater pimpinan Azwar AN ini juga berhasil mendidik para teaterawan yang masing-masing memiliki gaya sendiri-sendiri, dan kemudian berhasil mengembangkan kelompok teater yang kuat di Yogyakarta. Sebut saja Noor WA dengan Teater Jeprik-nya (yang juga dikenal sebagai pelopor Teater Sampakan), Puntung CM Pudjadi dengan Teater Shima-nya, Wahyana Giri MC dengan Dewan Teater Yogyakarta-nya. Juga berperan dalam menumbuhkan minat para pemuda kampung untuk berteater dengan kegiatan Arisan Teater di penghujung tahun 1970-an yang kemudian dihidupkan lagi pada tahun 1980-an oleh Himpunan Teater Yogyakarta (HTY).

"Azwar AN, Manusia Teater", sebagai buku pertama disampaikan oleh Roso Daras berisi tentang perjalanan hidup Azwar AN, yang telah berkecimpung dalam teater sejak kecil. Pada buku ini dilengkapi oleh kesaksian-kesaksian dari anak-cucu Azwar AN, dan orang-orang terdekat yang pernah bergelut dalam berbagai aktivitas Teater Alam, termasuk juga kegiatan di luar teater.

"Teater Alam, Di Panggung Zaman," berisi tentang kiprah teater alam yang dikaitkan pula dengan perkembangan teater dunia dan teater indonesia. Secara ringkas, Prof. Dr. Yudiarni menjelaskan tentang isi buku ini.

Selanjutnya, buku ketiga "Potret Teater Alam, Warna-Warni Testimoni" disampaikan oleh Bambang JP.

Bedah buku yang dihadiri oleh para teaterawan utamanya yang pernah menjadi anggota, juga dihadiri oleh para pegiat teater lainnya. Tampak hadir diantaranya Tony Broer, yang pernah aktif di Teater Payung Hitam Bandung, yang kini dikenal mengembangkan "teater tubuh" dan baru saja menyelesaikan studinya di ISI. Godor dari Teater Dinasti, Hamdy Salad dari Teater Eska, R Toto Sugiharto, peneliti dan pengamat kesenian.

Dokpri
Dokpri
Yogyakarta, 25 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun