Walau baru akan berlangsung pada 17 April 2019, namun ruang-ruang publik kita saat ini sudah ramai diisi perseteruan mempertahankan dan merebut kekuasaan. Jika di negara demokrasi manapun, dalam menyambut pemilu, partai politik (parpol) menjual ideologi dan program kerja, di Indonesia menjelang Pemilu 2019---di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah, republik ini manyatukan pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam satu waktu elit parpol pendukung pemerintah 'mengemis' suara dengan berlomba-lomba mendukung bakal calon presiden yang mempunyai elektabilitas paling tinggi. Sementara parpol yang katanya oposisi dan parpol yang masih abu-abu (antara oposisi atau mendukung pemerintah) juga sama latahnya, tidak menjadikan ideologi sebagai penarik hati pemilih.
Perseteruan ini dipastikan akan semakin meruncing bahkan bisa memuncak, selain karena panjangnya masa kampanye Pemilu 2019 (23 September 2018 - 13 April 2019 atau sekitar 6 bulan) juga karena kampanye tidak hanya dilakukan parpol tetapi juga calon presiden. Bisa dibayangkan betapa ramainya dan akan betapa tebalnya gesekan yang mungkin akan terjadi.
Namun, apapun itu, kita harus tetap optimis, bahwa bangsa besar ini akan bisa melewati perhelatan besar demokrasi ini. Walau semasa orde baru, kedewasaan demokrasi kita dibelunggu dan berkali-kali disuguhi pemilu semu, tetapi yakinlah demokrasi adalah DNA bangsa ini dan sejarah sudah membuktikannya.
"Kerasnya perseteruan' Pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama di Indonesia adalah salah satu bukti bangsa ini punya DNA berdemokrasi yang memaklumi perbedaan bahkan persilangan pendapat. Menariknya, perseteruan yang terjadi menjelang pemilu 63 tahun lalu itu, isunya hampir sama dengan yang terjadi saat ini. Mulai dari isu kecurigaan pemberantasan korupsi yang tebang pilih karena menyasar lawan politik, isu partai pro asing, isu partai anti-agama, hingga isu partai yang dekat dengan Islam garis keras.
Eksperimen Demokrasi Diawal Republik Berdiri
Pemilu 1955 lahir dari rahim demokasi liberal dengan sistem pemerintahan parlementer. Sistem parlementer mempunyai makna terdapat hubungan yang erat diantara badan legislatif dan eksekutif.Â
Saling kepercayaan adalah kunci dapat berjalannya sistem ini dengan baik. Ini berarti kebijaksanaan yang dikeluarkan kabinet harus searah dan sesuai dengan tujuan politik sebagian besar anggota parlemen. Kalau hal ini tidak terjadi maka parlemen dengan suara terbanyak bisa menjatuhkan mosi dan kabinet jatuh. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia selama demokrasi parlementer, hubungan saling keterkaitan antara kabinet dan parlemen menjadikan pemerintahan labil, mudah goyang dan sangat rawan konflik.
Demokrasi liberal yang menjamin kebebasan telah membuat Indonesia penuh warna dan penuh konflik. Berbagai aliran atau faham tumbuh  dan berkembang menyebarkan pengaruhnya. Pertikaian  biasanya terjadi antara partai politik yang merupakan corong dari ideologi.Â
Pada masa itu peta kekuatan politik di Indonesia terbagi dalam empat aliran, Nasionalisme, Islam, Komunis dan Sosialis. Keempat aliran inilah yang menjadi aktor utama dalam masa demokrasi liberal. Nasionalisme menemukan wujudnya dalam Partai nasional Indonesia (PNI), Islam dalam Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), Komunis dalam (PKI) dan Sosialisme dalam tubuh  Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun perseteruan yang paling meruncing terjadi antara PNI, Masyumi, dan PKI.
Arbi Sanit dalam buku Sistem Politik Indonesia: Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan (1982) mengatakan tebalnya ikatan ideologi saat itu disebabkan belum adanya suatu ideologi yang mampu menjadi saluran untuk mencapai konsensus sebagai penentu hal dasar dalam bidang politik, kenegaraan serta kemasyarakatan. Bahkan pada dakade 1950-an, ideologi sudah menjadi alat ukur tingkah laku politik, bukan lagi sebagai gambaran kehidupan manusia secara individual maupun kelompok.
Ideologi sudah dijadikan hukum yang menentukan mana salah dan benar. Konflik-konflik ini semakin mengkristal apalagi seiring mendekatnya Pemilu 1955. Jatuh bangun kabinet dan pecahnya koalisi PNI-Masyumi menjadi bukti partai-partai politik saat itu sedang diselimuti konflik. Masa kampanye yang panjang mengakibatkan kristalisasi konflik semakin mengeras bukan hanya di pentas nasional tapi juga menyebar ke daerah-daerah bahkan sampai merambat ke desa-desa.