Semua partai besar menekankan perjuangan partai dan tokoh-tokohnya selama perjuangan nasional. Biasanya partai-partai tersebut  menempatkan tokoh-tokoh di urutan atas daftar calon. Sedangkan didaerah-daerah yang  yang berciri khas, kelompok sosial, suku, marga terntenu, partai-partai menonjolkan ciri-ciri tokoh yang dianggap representasi dari kelompok sosial tertentu tersebut.
Kecenderungan yang sama dapat terlihat pada pemakaian tanda gambar. PKI sangat giat memperagakan tanda gambarnya dan dapat dikatakan partai yang unggul dalam memperagakan tanda gambar. Dari layang-layang  sampai dekor panggung semuanya berlambangkan PKI. Hal yang sama juga dilakukan Masyumi. Sedangkan PNI tidak banyak menggunakan papan iklan untuk tanda gambarnya tetapi lebih berfokus pada pembagian kartu-kartu tanda gambar partai.
Biasanya isi kampanye yang dibawa pimpinan PKI adalah penegasan bahwa jika PKI menang tidak akan membentuk negara komunis. PKI akan membangun pemerintahan koalisi nasional yang demokratis dan tidak memaksakan pimpinan nasional harus orang komunis, siapa saja asal menetang imprealisme dan kolonialisme seperti Soekarno.
Ketua Comite Central (CC) PKI Dipo Nusantara Aidit dalam orasinya berkali-kali meminta agar Masyumi mau bekerja sama dengan PKI. Isi kampanye PKI penuh dengan jargon-jargon dan slogan revolusi seperti "revolusi belum selesai" dan agar rakyat bersatu memilih PKI serta meminta semua anggotanya menjadi propagandis-propagandis partai. Pada setiap kesempatan kampanye, PKI juga menegaskan sikapnya terhadap DI-TII. Pola kampanye PKI hampir sama di semua provinsi yaitu mengadakan kegiatan-kegaitan kesejahteraan sosial. Cara ini, selain untuk memenangkan pemilu juga sebagai jalan untuk membangun basis massa yang lebih parmanen. Â
Sedangkan PNI, selain mengucapkan janji-janji kampanye berupa masa depan Indonesia yang lebih baik, pada setiap kampanyenya juga melontarkan kritikan terhadap pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilancarkan Pemerintahan Burhanuddin Harahap (Masyumi). Ketua DPP PNI AK. Gani menyatakan pemberantasan korupsi yang dilakukan Perdana Menteri dari Masyumi ini sengaja menyasar orang-orang PNI saja dengan tujuan menjelakkan PNI menjelang pemilu.
Memang tak lama setelah Burhanuddin Harahap membentuk kabinet, polisi militer menangkap Mr. Djody Gundokusumo, mantan Menteri Kehakiman dalam kabinet Ali Sastroamidjojo Pertama, dengan tuduhan korupsi. Menjelang Pemilu, tepatnya 14 Agustus 1955 juga terjadi serangkaian penangkapan terhadap pejabat tinggi terkait kasus korupsi. Soal korupsi juga menjadi isu kampanye PKI yang menyatakan pemberantasan korupsi era Burhanuddin Harahap hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap persoalan yang lebih besar seperti masuknya modal asing, kolonialisme dan imprealisme (Harian Mestika, 23 Agustus 1955).
Perseteruan menarik sepanjang kampanye Pemilu 1955 upaya mati-matian PNI menegaskan mereka tidak anti-Islam seperti yang dituduhkan lawan-lawan politiknya terutama Masyumi. Elisio Racamora, dalam bukunya Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965(1991) mengatakan, untuk menghalau serangan ini, PNI dalam panduan garis-garis besar propaganda kampanye bahkan sampai memberikan poin-poin penjelasan yang panjang lebar terhadap sikapnya mengenai peranan agama dalam politik dan masyarakat secara keseluruhan. Para juru kampenye PNI diarahkan untuk menyakinkan rakyat, bahwa PNI memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap agama dengan menyatakan bahwa agama, khususnya Islam akan memainkan peran yang sangat besar dalam pemilihan umum.
Kentalnya ideologi dan panjangnya masa kampanye membuat aksi menjatuhkan tidak bisa dihindari. Dalam rapat-rapat umum kerapkali terdengar saling hujat-menghujat terutama antara Masyumi dengan PKI. Para orator PKI sering kali mengkait-kaitkan Masyumi dengan DI-TII dan antek asing, sedangkan para orator Masyumi menyatakan komunis adalah tidak beragama, atheis dan totaliter. Masyumi menyeru bahwa memilih PKI berarti setuju dengan pemberontakan Madiun, dan memilih PKI berarti memilih Musso.
Kampanye pemilu legislatif menemui kesemarakannya saat perayaan 17 Agustus 1955. Baik PNI, Masyumi dan PKI memanfaatkannya untuk berkampanye dengan aksi tanda gambar. Partai Komunis Indonesia membawa gambar palu-arit berukuran dalam arak-arakannya. Masyumi membuat tanda gambar di gerbang-gerbang masuk kota/kabupaten, hal yang sama juga dilakukan PNI.
Namun, pada kampanye Konstituante terjadi perubahan pola atau teknik berkampanye yang dilakukan baik Masyumi, PNI maupun PKI dan peserta lainnya. Rapat-rapat umum yang sudah menjadi pemandangan umum pada kampanye legeslatif sudah jarang dilakukan kampanye Konstituante pada Desember 1955. Metode yang banyak digunakan baik Masyumi, PNI, maupun PKI dengan menagadakan pertemuan lebih kecil dikecamatan dan desa. Pertemuan dan pidato-pidato seperti ini lebih mudah secara organisatoris diikuti dan ditindaklanjuti dan partai lebih mudah untuk memanamkan kaitan antara partai dengan tokoh-tokohnya dan lambang dalam pola pikir pemilih.
Pemilu Pertama yang Demokratis