Mohon tunggu...
Oddi Arma
Oddi Arma Mohon Tunggu... profesional -

menulis apa yang dilihat, rasa, dan dengarkan @odiology

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menengok Kembali Suasana Pemilu 1955

10 Juli 2018   18:31 Diperbarui: 10 Juli 2018   18:51 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Perang Ideologi untuk Menarik Simpati

Mungkin dalam sejarah politik Indonesia, tidak ada masa yang begitu menggeliat selain dekade 1950-an, terutama menjelang Pemilu 1955. Perseteruan diantara parpol tidak begitu sengit, tanpa basa-basi, langsung menghujam jantung dan elite partai yang menjadi saingan mendapatkan simpati rakyat. Tidak ada ketentuan yang lengkap dan terperinci mengenai pelaksanaan kampanye karena iklim politik saat itu menyediakan ruang kebebasan bagi kontestan pemilu. 

Aksi kampaye didominasi oleh pengerahan massa mulai rapat umum dan arak-arakan dengan menggunakan pengeras suara.  Kampanye yang dilarang hanya segala bentuk penyiaran baik lisan maupun tulisan yang merugikan kedudukan Presiden dan wakilnya. Cuma itu. Bisa dibayangkan bagaimana keriuhan suasana Indonesia menjelang Pemilu 1955.

Saat tahapan kampanye dimulai, partai-partai langsung menggalang dan memperluas pengaruhnya terutama di desa-desa. Masyumi yang sudah mempunyai akar organisasi yang kuat sejak zaman Jepang mulai mengaktifkan cabang partainya di desa-desa. Hal yang sama juga dilakukan oleh PKI dan PNI. Bahkan PKI mulai menggalang kekuatan ke para petani yang sempat terhenti karena peristiwa Madiun 1948. Sedangkan PNI mengikat konstituenya melalui jaringan pamong dan pegawai negeri serta para tokoh revolusi kemerdekaan. Namun persaingan sengit hampir jarang terjadi di desa-desa disebabkan adanya kecenderungan suatu wilayah atau desa dikuasai oleh satu partai tertentu.

Pertarungan sebenarnya antarketiga partai ini terjadi dikota-kota, kerisidenan, dan kabupaten besar, diperkebunan, pertambangan dan daerah-daerah yang banyak didiami bekas pejuang revolusi. Dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang maksimal, baik PNI, Masyumi maupun PKI sibuk memperluas pengaruhnya dikelompok-kelompok sosial yang berpengaruh.

Terdapat kesamaan fungsi kegiatan partai di daerah- daerah yaitu sebagai  show of power. Partai-partai yang dianggap besar adalah yang mampu melaksanakan kongres di Jakarta dengan menghadirkan utusan-utusan cabang daerah. Persaingan untuk mendapat pengaruh di daerahpun tidak kalah sengit terutama antara PNI dan Masyumi, terutama dikalangan Pamong praja. Ini dapat dilihat dari pengangkatan dan pemindahan gubernur, residen dan bupatii serta kepala-kepala departemen yang begitu dinamis menjelang pemilu.

Lain halnya dengan PKI, bangkit dari kekalahan Madiun, PKI lebih mengkonsentrasikan pada konsolidasi internal partai. Dengan menerapkan disiplin tinggi partai ini berhasil menambah jumlah anggota pada 1952. PKI tidak menaruh perhatian pada politik memperebutkan kekuasaan jabatan pemerintahan namun lebih memfokuskan perhatian pada proleteriat di kota dan perkebunan, kelompok pemuda dan veteran serta kelompok pemberontak dan gerombolan bandit (Herbert Feith, 1999).

Perseteruan PNI, Masyumi dan PKI

Isi kampanye Pemilu 1955 di Jakarta adalah pertentangan antara PNI dan Masyumi mengenai pola politik kabinet. Ketika Ali Sastroamidjojo (PNI) memimpin kabinet (1 Agustus 1953 -24 Juli 1955) Masyumi berada di barisan oposisi. 

Di satu sisi PKI menjadi partai ketiga penentu isi kampanye. Sekalipun mendukung kabinet Ali dan menentang kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Jadi debat kampanye adalah debat segitiga. Isu yang diangkat PKI adalah menekankan kehidupan rakyat yang buruk, akibat masih dicengkramnya perkonomian Indonesia oleh pihak asing. Namun PKI tetap mendukung kebijakan kabinet Ali yang dianggapnya lebih progresif. PKI juga mempolori kampanye yang mengkaitkan Masyumi dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI-TII). Kedua partai ini (PKI dan Masyumi) juga berupaya mencap masing-masing pihak sebagai ekstrimis, asing dan bertentangan dengan inti nasionalis.

Sedangkan isu kampanye di daerah dan desa tidak sama dengan Jakarta bahkan ada perbedaan yang menonjol. Isu-isu disesuaikan dengan kondisi sosial suatu wilayah atau desa. Misalnya, juru kampanye Masyumi di Sumatera sering menyatakan bahwa PNI adalah partainya orang Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun