Mohon tunggu...
Oddi Arma
Oddi Arma Mohon Tunggu... profesional -

menulis apa yang dilihat, rasa, dan dengarkan @odiology

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menengok Kembali Suasana Pemilu 1955

10 Juli 2018   18:31 Diperbarui: 10 Juli 2018   18:51 1138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walau baru akan berlangsung pada 17 April 2019, namun ruang-ruang publik kita saat ini sudah ramai diisi perseteruan mempertahankan dan merebut kekuasaan. Jika di negara demokrasi manapun, dalam menyambut pemilu, partai politik (parpol) menjual ideologi dan program kerja, di Indonesia menjelang Pemilu 2019---di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah, republik ini manyatukan pemilu legislatif dan pemilu presiden dalam satu waktu elit parpol pendukung pemerintah 'mengemis' suara dengan berlomba-lomba mendukung bakal calon presiden yang mempunyai elektabilitas paling tinggi. Sementara parpol yang katanya oposisi dan parpol yang masih abu-abu (antara oposisi atau mendukung pemerintah) juga sama latahnya, tidak menjadikan ideologi sebagai penarik hati pemilih.

Perseteruan ini dipastikan akan semakin meruncing bahkan bisa memuncak, selain karena panjangnya masa kampanye Pemilu 2019 (23 September 2018 - 13 April 2019 atau sekitar 6 bulan) juga karena kampanye tidak hanya dilakukan parpol tetapi juga calon presiden. Bisa dibayangkan betapa ramainya dan akan betapa tebalnya gesekan yang mungkin akan terjadi.

Namun, apapun itu, kita harus tetap optimis, bahwa bangsa besar ini akan bisa melewati perhelatan besar demokrasi ini. Walau semasa orde baru, kedewasaan demokrasi kita dibelunggu dan berkali-kali disuguhi pemilu semu, tetapi yakinlah demokrasi adalah DNA bangsa ini dan sejarah sudah membuktikannya.

"Kerasnya perseteruan' Pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama di Indonesia adalah salah satu bukti bangsa ini punya DNA berdemokrasi yang memaklumi perbedaan bahkan persilangan pendapat. Menariknya, perseteruan yang terjadi menjelang pemilu 63 tahun lalu itu, isunya hampir sama dengan yang terjadi saat ini. Mulai dari isu kecurigaan pemberantasan korupsi yang tebang pilih karena menyasar lawan politik, isu partai pro asing, isu partai anti-agama, hingga isu partai yang dekat dengan Islam garis keras.

Eksperimen Demokrasi Diawal Republik Berdiri

Pemilu 1955 lahir dari rahim demokasi liberal dengan sistem pemerintahan parlementer. Sistem parlementer mempunyai makna terdapat hubungan yang erat diantara badan legislatif dan eksekutif. 

Saling kepercayaan adalah kunci dapat berjalannya sistem ini dengan baik. Ini berarti kebijaksanaan yang dikeluarkan kabinet harus searah dan sesuai dengan tujuan politik sebagian besar anggota parlemen. Kalau hal ini tidak terjadi maka parlemen dengan suara terbanyak bisa menjatuhkan mosi dan kabinet jatuh. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia selama demokrasi parlementer, hubungan saling keterkaitan antara kabinet dan parlemen menjadikan pemerintahan labil, mudah goyang dan sangat rawan konflik.

Demokrasi liberal yang menjamin kebebasan telah membuat Indonesia penuh warna dan penuh konflik. Berbagai aliran atau faham tumbuh  dan berkembang menyebarkan pengaruhnya. Pertikaian  biasanya terjadi antara partai politik yang merupakan corong dari ideologi. 

Pada masa itu peta kekuatan politik di Indonesia terbagi dalam empat aliran, Nasionalisme, Islam, Komunis dan Sosialis. Keempat aliran inilah yang menjadi aktor utama dalam masa demokrasi liberal. Nasionalisme menemukan wujudnya dalam Partai nasional Indonesia (PNI), Islam dalam Masyumi dan Nahdlatul Ulama (NU), Komunis dalam (PKI) dan Sosialisme dalam tubuh  Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun perseteruan yang paling meruncing terjadi antara PNI, Masyumi, dan PKI.

Arbi Sanit dalam buku Sistem Politik Indonesia: Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan (1982) mengatakan tebalnya ikatan ideologi saat itu disebabkan belum adanya suatu ideologi yang mampu menjadi saluran untuk mencapai konsensus sebagai penentu hal dasar dalam bidang politik, kenegaraan serta kemasyarakatan. Bahkan pada dakade 1950-an, ideologi sudah menjadi alat ukur tingkah laku politik, bukan lagi sebagai gambaran kehidupan manusia secara individual maupun kelompok.

Ideologi sudah dijadikan hukum yang menentukan mana salah dan benar. Konflik-konflik ini semakin mengkristal apalagi seiring mendekatnya Pemilu 1955. Jatuh bangun kabinet dan pecahnya koalisi PNI-Masyumi menjadi bukti partai-partai politik saat itu sedang diselimuti konflik. Masa kampanye yang panjang mengakibatkan kristalisasi konflik semakin mengeras bukan hanya di pentas nasional tapi juga menyebar ke daerah-daerah bahkan sampai merambat ke desa-desa.

Perang Ideologi untuk Menarik Simpati

Mungkin dalam sejarah politik Indonesia, tidak ada masa yang begitu menggeliat selain dekade 1950-an, terutama menjelang Pemilu 1955. Perseteruan diantara parpol tidak begitu sengit, tanpa basa-basi, langsung menghujam jantung dan elite partai yang menjadi saingan mendapatkan simpati rakyat. Tidak ada ketentuan yang lengkap dan terperinci mengenai pelaksanaan kampanye karena iklim politik saat itu menyediakan ruang kebebasan bagi kontestan pemilu. 

Aksi kampaye didominasi oleh pengerahan massa mulai rapat umum dan arak-arakan dengan menggunakan pengeras suara.  Kampanye yang dilarang hanya segala bentuk penyiaran baik lisan maupun tulisan yang merugikan kedudukan Presiden dan wakilnya. Cuma itu. Bisa dibayangkan bagaimana keriuhan suasana Indonesia menjelang Pemilu 1955.

Saat tahapan kampanye dimulai, partai-partai langsung menggalang dan memperluas pengaruhnya terutama di desa-desa. Masyumi yang sudah mempunyai akar organisasi yang kuat sejak zaman Jepang mulai mengaktifkan cabang partainya di desa-desa. Hal yang sama juga dilakukan oleh PKI dan PNI. Bahkan PKI mulai menggalang kekuatan ke para petani yang sempat terhenti karena peristiwa Madiun 1948. Sedangkan PNI mengikat konstituenya melalui jaringan pamong dan pegawai negeri serta para tokoh revolusi kemerdekaan. Namun persaingan sengit hampir jarang terjadi di desa-desa disebabkan adanya kecenderungan suatu wilayah atau desa dikuasai oleh satu partai tertentu.

Pertarungan sebenarnya antarketiga partai ini terjadi dikota-kota, kerisidenan, dan kabupaten besar, diperkebunan, pertambangan dan daerah-daerah yang banyak didiami bekas pejuang revolusi. Dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang maksimal, baik PNI, Masyumi maupun PKI sibuk memperluas pengaruhnya dikelompok-kelompok sosial yang berpengaruh.

Terdapat kesamaan fungsi kegiatan partai di daerah- daerah yaitu sebagai  show of power. Partai-partai yang dianggap besar adalah yang mampu melaksanakan kongres di Jakarta dengan menghadirkan utusan-utusan cabang daerah. Persaingan untuk mendapat pengaruh di daerahpun tidak kalah sengit terutama antara PNI dan Masyumi, terutama dikalangan Pamong praja. Ini dapat dilihat dari pengangkatan dan pemindahan gubernur, residen dan bupatii serta kepala-kepala departemen yang begitu dinamis menjelang pemilu.

Lain halnya dengan PKI, bangkit dari kekalahan Madiun, PKI lebih mengkonsentrasikan pada konsolidasi internal partai. Dengan menerapkan disiplin tinggi partai ini berhasil menambah jumlah anggota pada 1952. PKI tidak menaruh perhatian pada politik memperebutkan kekuasaan jabatan pemerintahan namun lebih memfokuskan perhatian pada proleteriat di kota dan perkebunan, kelompok pemuda dan veteran serta kelompok pemberontak dan gerombolan bandit (Herbert Feith, 1999).

Perseteruan PNI, Masyumi dan PKI

Isi kampanye Pemilu 1955 di Jakarta adalah pertentangan antara PNI dan Masyumi mengenai pola politik kabinet. Ketika Ali Sastroamidjojo (PNI) memimpin kabinet (1 Agustus 1953 -24 Juli 1955) Masyumi berada di barisan oposisi. 

Di satu sisi PKI menjadi partai ketiga penentu isi kampanye. Sekalipun mendukung kabinet Ali dan menentang kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi. Jadi debat kampanye adalah debat segitiga. Isu yang diangkat PKI adalah menekankan kehidupan rakyat yang buruk, akibat masih dicengkramnya perkonomian Indonesia oleh pihak asing. Namun PKI tetap mendukung kebijakan kabinet Ali yang dianggapnya lebih progresif. PKI juga mempolori kampanye yang mengkaitkan Masyumi dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI-TII). Kedua partai ini (PKI dan Masyumi) juga berupaya mencap masing-masing pihak sebagai ekstrimis, asing dan bertentangan dengan inti nasionalis.

Sedangkan isu kampanye di daerah dan desa tidak sama dengan Jakarta bahkan ada perbedaan yang menonjol. Isu-isu disesuaikan dengan kondisi sosial suatu wilayah atau desa. Misalnya, juru kampanye Masyumi di Sumatera sering menyatakan bahwa PNI adalah partainya orang Jawa.

Semua partai besar menekankan perjuangan partai dan tokoh-tokohnya selama perjuangan nasional. Biasanya partai-partai tersebut  menempatkan tokoh-tokoh di urutan atas daftar calon. Sedangkan didaerah-daerah yang  yang berciri khas, kelompok sosial, suku, marga terntenu, partai-partai menonjolkan ciri-ciri tokoh yang dianggap representasi dari kelompok sosial tertentu tersebut.

Kecenderungan yang sama dapat terlihat pada pemakaian tanda gambar. PKI sangat giat memperagakan tanda gambarnya dan dapat dikatakan partai yang unggul dalam memperagakan tanda gambar. Dari layang-layang  sampai dekor panggung semuanya berlambangkan PKI. Hal yang sama juga dilakukan Masyumi. Sedangkan PNI tidak banyak menggunakan papan iklan untuk tanda gambarnya tetapi lebih berfokus pada pembagian kartu-kartu tanda gambar partai.

Biasanya isi kampanye yang dibawa pimpinan PKI adalah penegasan bahwa jika PKI menang tidak akan membentuk negara komunis. PKI akan membangun pemerintahan koalisi nasional yang demokratis dan tidak memaksakan pimpinan nasional harus orang komunis, siapa saja asal menetang imprealisme dan kolonialisme seperti Soekarno.

Ketua Comite Central (CC) PKI Dipo Nusantara Aidit dalam orasinya berkali-kali meminta agar Masyumi mau bekerja sama dengan PKI. Isi kampanye PKI penuh dengan jargon-jargon dan slogan revolusi seperti "revolusi belum selesai" dan agar rakyat bersatu memilih PKI serta meminta semua anggotanya menjadi propagandis-propagandis partai. Pada setiap kesempatan kampanye, PKI juga menegaskan sikapnya terhadap DI-TII. Pola kampanye PKI hampir sama di semua provinsi yaitu mengadakan kegiatan-kegaitan kesejahteraan sosial. Cara ini, selain untuk memenangkan pemilu juga sebagai jalan untuk membangun basis massa yang lebih parmanen.  

Sedangkan PNI, selain mengucapkan janji-janji kampanye berupa masa depan Indonesia yang lebih baik, pada setiap kampanyenya juga melontarkan kritikan terhadap pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilancarkan Pemerintahan Burhanuddin Harahap (Masyumi). Ketua DPP PNI AK. Gani menyatakan pemberantasan korupsi yang dilakukan Perdana Menteri dari Masyumi ini sengaja menyasar orang-orang PNI saja dengan tujuan menjelakkan PNI menjelang pemilu.

Memang tak lama setelah Burhanuddin Harahap membentuk kabinet, polisi militer menangkap Mr. Djody Gundokusumo, mantan Menteri Kehakiman dalam kabinet Ali Sastroamidjojo Pertama, dengan tuduhan korupsi. Menjelang Pemilu, tepatnya 14 Agustus 1955 juga terjadi serangkaian penangkapan terhadap pejabat tinggi terkait kasus korupsi. Soal korupsi juga menjadi isu kampanye PKI yang menyatakan pemberantasan korupsi era Burhanuddin Harahap hanya untuk mengalihkan perhatian rakyat terhadap persoalan yang lebih besar seperti masuknya modal asing, kolonialisme dan imprealisme (Harian Mestika, 23 Agustus 1955).

Perseteruan menarik sepanjang kampanye Pemilu 1955 upaya mati-matian PNI menegaskan mereka tidak anti-Islam seperti yang dituduhkan lawan-lawan politiknya terutama Masyumi. Elisio Racamora, dalam bukunya Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965(1991) mengatakan, untuk menghalau serangan ini, PNI dalam panduan garis-garis besar propaganda kampanye bahkan sampai memberikan poin-poin penjelasan yang panjang lebar terhadap sikapnya mengenai peranan agama dalam politik dan masyarakat secara keseluruhan. Para juru kampenye PNI diarahkan untuk menyakinkan rakyat, bahwa PNI memberikan perhatian sungguh-sungguh terhadap agama dengan menyatakan bahwa agama, khususnya Islam akan memainkan peran yang sangat besar dalam pemilihan umum.

Kentalnya ideologi dan panjangnya masa kampanye membuat aksi menjatuhkan tidak bisa dihindari. Dalam rapat-rapat umum kerapkali terdengar saling hujat-menghujat terutama antara Masyumi dengan PKI. Para orator PKI sering kali mengkait-kaitkan Masyumi dengan DI-TII dan antek asing, sedangkan para orator Masyumi menyatakan komunis adalah tidak beragama, atheis dan totaliter. Masyumi menyeru bahwa memilih PKI berarti setuju dengan pemberontakan Madiun, dan memilih PKI berarti memilih Musso.

Kampanye pemilu legislatif menemui kesemarakannya saat perayaan 17 Agustus 1955. Baik PNI, Masyumi dan PKI memanfaatkannya untuk berkampanye dengan aksi tanda gambar. Partai Komunis Indonesia membawa gambar palu-arit berukuran dalam arak-arakannya. Masyumi membuat tanda gambar di gerbang-gerbang masuk kota/kabupaten, hal yang sama juga dilakukan PNI.

Namun, pada kampanye Konstituante terjadi perubahan pola atau teknik berkampanye yang dilakukan baik Masyumi, PNI maupun PKI dan peserta lainnya. Rapat-rapat umum yang sudah menjadi pemandangan umum pada kampanye legeslatif sudah jarang dilakukan kampanye Konstituante pada Desember 1955. Metode yang banyak digunakan baik Masyumi, PNI, maupun PKI dengan menagadakan pertemuan lebih kecil dikecamatan dan desa. Pertemuan dan pidato-pidato seperti ini lebih mudah secara organisatoris diikuti dan ditindaklanjuti dan partai lebih mudah untuk memanamkan kaitan antara partai dengan tokoh-tokohnya dan lambang dalam pola pikir pemilih.

Pemilu Pertama yang Demokratis

Walau perseteruan begitu sengit sepanjang perhelatan kampanye, Pemilu 1955 berjalan aman, tertib, jujur, adil dan demokratis. Walau belum lama menghirup udara demokrasi, DNA demokrasi di hati rakyat Indonesia teruji. Rakyat yang mempunyai hak pilih rela berjalan puluhan kilometer bahkan menyeberang pulau untuk ikut mereguk kebebasan ikut menentukan nasib bangsanya yang baru saja merdeka. Tak heran, tingkat partisipasi pada pemilu pertama ini mampu mencapai 91,4 persen dengan angka golput hanya 8,6 persen.

Poin penting dari Pemilu 1955 ini adalah walaupun perseteruan antarparpol begitu sengit, tetapi kematangan berdemokrasi elit-elit partai yang kemudian diikuti oleh massa partai membuat suasana pemilu kondusif dan semua pihak menerima hasil pemilu dengan baik. Kadar kematangan demokrasi elite dan massa parpol seperti inilah yang sekarang ditunggu rakyat menjelang Pemilu 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun