Mohon tunggu...
Odilia Astuti Wijono Banjuradja
Odilia Astuti Wijono Banjuradja Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

I'm not lucky - I'm so blessed

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Kangen

6 Mei 2011   18:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:00 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

pada sungai kecil yang membelah kota kecil kami. Kali Lekso namanya, membelah Wlingi menjadi bagian timur dan barat. Di sungai kecil ini aku suka bermain dan berenang bersama teman-teman kampungku. Mereka tinggal di kampung di belakang rumah. Senang sekali bisa berendam di air yang jernih, mengejar ikan-ikan kecil, uceng namanya, endemik Kali Lekso. Ikan uceng ini sebesar jari kelilingking, rasanya gurih kalau digoreng. Setelah puas main air, aku suka menyusuri sawah di atasnya untuk mencari suplier yang cantik-cantik (bahkan pada waktu itu suplier belum menjadi tanaman hias yang sengaja ditanam di pot). Sesampai di rumah, Mamie akan menyambut dengan muka galak. Duduk tidak boleh gerak, tidak boleh bicara adalah hukuman untuk gadis kecil yang bandel! Mamie menghukum bukan karena aku bermain dengan anak-anak kampung, mereka toh sudah dikenal dan mengenal kami; tetapi lebih karena bahaya yang mengintai. Kali Lekso, meskipun kecil, menyimpan potensi banjir yang menakutkan. Jika banjir tiba, akan ada kehebohan di pagi hari, karena sekolah kami ada di bagian barat kali ini dan kami tinggal di timur kali. Banjir sering kali menghayutkan jembatan sesek (bambu) yang menghubungkan Wlingi timur dan Wlingi barat. Seandainyapun jembatan tidak hanyut, akan bahaya dan sulit sekali menitinya. Tetapi entah kenapa, aku menikmati saat-saat itu. Kali Lekso telah mengajari aku untuk mencintai dan menghormati alam, bahwa air, meskipun kelihatan bersahabat, jangan pernah dilawan, karena dia bisa menyemburkan amarah yang berbahaya.

Aku kangen,

pada suasana persahabatan tanpa basa basi yang pernah aku reguk di masa kecilku. Di sebelah utara, di tusuk sate Jalan Majegan, adalah Kantor Wedono (pimpinan wilayah kawedanan, setingkat lebih tinggi dari Kecamatan). Pejabat Wedono, kami menyebutnya Pak Wedono dan keluarganya tinggal di sana, di belakang pendopo. Tidak ada yang angker di sana, kecuali pohon tanjung besar yang kata emakku adalah rumah wewe gombel (kuntil anak). Kami bebas bermain di halamannya yang luas, bersepeda, 'luru' (mengumpulkan) kecik (biji buah) tanjung untuk main dakon dan kecikan, dan bunga tanjung untuk kami ronce jadi kalung seperti gaya hula-hula. Sejauh yang aku ingat, Pak Wedono dan keluarganya juga tidak menjaga jarak dengan kami. Kami, anak-anak kecil, bisa bermain sampai masuk-masuk ke belakang, ke kediaman mereka. Mereka juga suka beranjang sana ke rumah kami. Ibu Wedono suka belanja sendiri ke toko kami. Juga Pak Lurah, Pak Carik, kami semua akrab tak berjarak, aku juga berteman dengan anak-anak mereka. Masih bisakah kita temui pejabat seperti ini di era sekarang ini?

Aku kangen,

pada Pak Noyo dan Ibu, mereka adalah orang tua angkatku, teman kerja papieku. Aku di-kue pang-kan (diberikan) kepada mereka karena aku sakit-sakitan, dan hanya beliau berdualah yang berhasil menenangkan aku dalam buaian mereka sehingga emak dengan spontan menyerahkan aku kepada mereka. Mereka langsung memberiku nama ASTUTI - artinya persembahan yang suci. Nama itu ternyata membawa berkah, aku sembuh dan tumbuh menjadi anak yang sehat dan sedikit bandel. Mereka berdua tidak mempunyai anak kandung, semua kasih sayang tercurah habis untuk aku, demikian aku, sayang sekali ke beliau berdua. Libur sekolah adalah saat yang aku tunggu-tunggu, karena aku bisa ke Blitar dan menginap barang seminggu dua minggu, dan menikmati kemanjaan anak tunggal bersama mereka. Mereka tidak menganut agama apapun, tapi hidup mereka lebih saleh dari umat agama manapun. Mereka hanya mempercayai ada kekuatan yang Maha segalanya di atas kita. Untuk itu, mereka mengajariku untuk selalu rendah hati, jujur, sederhana, cinta kepada sesama dan alam - ojo dumeh. Saat ini hanya doa yang dapat aku kirim untuk beliau berdua, karena belum sempat aku mampu membalas cinta mereka, mereka harus menghadap Sang Khalik. Pak - Bu- anakmu kangen...

Aku kangen,

pada suasana damai tanpa curiga, ketika persaudaraan berpagut dengan kasih sayang. Aku kangen pada masa kecilku, ketika keragaman dibungkus dengan tepo seliro tanpa berhias curiga. Aku ingin pulang, ke pelukan hangat bernama empati tanpa sekat. Aku kangen, pada hati yang murni yang menghidupi  perjuangan dengan rasa ikhlas dan syukur. Mengapa semakin jauh dari jangkauan? Aku sudah lelah dengan angkara dan kebuasan bernama panji-panji agama dan  perbedaan 'tanda lahir'. Aku sudah letih menyaksikan ketentraman dicabik-cabik oleh teror tak berkesudahan. Aku kangen, aku ingin pulang....

(aku adalah seorang Tionghoa, yang dibesarkan dalam keberagaman)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun